Menyelami Ruang Antara Bissu Saidi

RESENSI, PANRITA KITTA’ - Apa yang ditutur dalam Novel  yang berhalaman isi 380 ini??? Demikian tanya yang merajai benak saya saat melihat judul di cover-nya. Beberapa malam saya menggadaikan waktu; menyicil tuk merapal kisah yang tertuang. Sebagai faqir, banyak pengetahuan baru yang kutemui.

Tentu beberan singkat ini, tidaklah dapat merekam utuh konten novel  bergenre true history ini. Mini narasi ini juga tidak dimaksudkan sebagai  resensi ataupun review. Ini sekadar apresiasi sederhana sekaligus eksplorasi kesan, dan yang terpenting adalah cermin diri; adakah membaca dapat memberi makna?

(*)


Calabai sebagai  identitas gender ‘Kawasan Antara’ adalah topik sensitif-sensasional.


Sebagai hasil studi netral atas fakta budaya lokal, Calabai sebagai grand isu paparan terasa menjadi ‘bermutu’. Pepi Al-Bayqunie [penulis] cukup piawai merajutnya menjadi cerita yang disentuh-serempetkan dengan berbagai ‘perkara’ yang menyeruak gaduh; Stigmatisasi berbasis sosial publik dan agama. Setting lokasi di tanah bugis, menjadi satu daya pikat tersendiri bagi saya secara pribadi.


Ini adalah karya, dan teramat layak dibaca-arifi.

(*)


Adalah Saidi, anak lelaki yang tumbuh kembangnya menghadirkan risau-murka bagi ayahnya [Puang Baso]. Alih-alih menjadi ‘lelaki sejati’ sebagaimana pengharapan sang ayah, Saidi kian hari kian gemulai. Tubuhnya memang lelaki, namun tabiatnya perempuan. Sejak Saidi diketahui sebagai calabai [begitu orang menyebutnya], maka derita pun kian membekap hidupnya. Sejak kelas 4 SD Saidi terpaksa meninggalkan sekolah karena tak tahan dengan ledekan kawan-kawannya.


Namun keputusan itu tak serta merta membuatnya lega. Menghabiskan waktu di rumah justru kian membuatnya tersiksa. Sang ayah terus memaksanya untuk tumbuh sebagai lelaki. Setiap waktu Saidi dibebani tugas yang dalam kira ayahnya akan membuatnya menjadi ‘lelaki dengan pengawasan super ketat; menimba air di sumur, mencangkul di sawah-kebun, dll. Bahkan tak jarang Saidi diseret paksa, jika terlihat manja dan lemah.

Saidi sesungguhnya tak menyenangi semua itu, ia akan lebih merasa bahagia jika berada d iarea kerja sang Ibu; menata rumah dan memasak. Tapi ia tak punya pilihan, menuruti keinginan ayahnya, sedikitnya, akan melepaskan dirinya dari amuk amarah lelaki yang menjadi musabab kelahirannya di dunia.


          Baca Juga: Calabai: Menguak Misteri Dunia Antara


Saidi adalah anak yang baik dan berbudi. Hanya satu celanya, ia calabai. Dan cela itulah yang tak dapat diterima sang ayah. Memasuki usia 17 Tahun, tak ada yang berubah. Semua usaha sang ayah menjadikan Saidi ‘lelaki’, nihil. Tak ada otot-otot kekar, sebagaimana ekspektasi Puang Baso. Sang ayah kian meradang. Intimidasi kian gencar, omongan masyarakat juga kian lancar.


Berjuta kali Saidi mendapat hardik sang ayah, bahkan tak jarang Saidi menerima pukulan. Saidi melarutkan segenap dukanya dalam nanar. Menyoal kondisinya dalam gerutu batin berkepanjangan. Kenapa saya harus begini? Demikian ratap Saidi dalam malam-malam panjang.

(*)


Tuhan melaknat lelaki yang menyerupai perempuan dan perempuan yang menyerupai lelaki

~HR. Ahmad Ibnu Abbas


Demikian kutipan khatib jumat. Ini bukan kali pertama Saidi mendengarnya, Ayahnya juga lebih dari puluhan kali menimpalinya dengan kalimat serupa disertai dengan momok neraka sebagai muara akhirnya. Dan setiap kali kalimat-kalimat seperti itu disitir, Saidi akan bersimbah keringat. Ucapan khatib yang disertai tatapan sinis jamaah menohok jantungnya.

 ”.....Saidi kikuk, serasa duduk di atas bara. Ia merasa dihakimi. Duduk di tengah rumah Tuhan sebagai terdakwa”

[h. 18].


Bagi Saidi, hanya pelukan hangat Ibunya yang dapat sedikit menawar duka panjangnya. Dan sesekali, jika rumah sedang sepi, Saidi bergegas merangsek ke kamar ibunya; menaburi bedak di pipinya, menggoreskan gincu di bibirnya. Menatap lamat-lamat wajah yang telah didandaninya lewat kaca. Di saat-saat demikian, berkecambahlah bahagia direlung jiwanya. Ia pun tak mengerti, dari mana dan kenapa rasa itu bertumbuh.


Namun bahagia itu tak kan lama, sebab ia secepat kilat akan menghapus polesan bedak dan gincu dari wajahnya, jika radar telinganya telah menangkap sentak kaki menaiki tangga rumahnya. Tak boleh ada jejak yang tersisa, sebab itu bakal mengundang dampratan caci dan pukulan dari sang ayah.

(*)


Saidi seringkali bertanya pada ibunya tentang dilema yang membelitnya. Ia lelah tertuduh sebagai ‘pembawa bencana’. Ia lelah sebab ia sendiri tak mengerti mengapa ia menjadi calabai. Biasanya sang ibu menyambut curah hatinya dengan belaian kasih, menenangkannya dan memintanya bersabar atas situasi yang ada. Bagi Saidi, ibu menjadi satu-satunya yang mengerti akan dirinya.


Satu malam Saidi membatin dan melangitkan keluh kesahnya. Lama ia mengadu dan bertanya, hingga ia terlelap. Tidurnya malam itu ditaburi bunga-bunga mimpi. Yah, mimpi yang tak biasa. Hingga ia terjaga, mimpi itu terus memberati jiwa dan fikirannya.


Mimpi itulah yang menjadi pemicu ia memiliki sejumput nyali memohon restu  ayahnya untuk merantau. Ayahnya setuju, karena baginya meski Saidi tampak gemulai, tetapi ia adalah laki-laki. Dan bagi tradisi bugis, anak lelaki harus berani merantau.


Walau sang ibu sekuat tenaga berusaha mencegah dan tak merela Saidi menjauh dari sisinya. Sebab Saidi adalah anak bungsu sekaligus satu-satunya anak lelakinya. Kedua kakak perempuannya telah berkeluarga dan menetap di kampung sebelah. Tapi ia tak punya kuasa. Pada akhirnya ibu Saidi pasrah dan tak berdaya, sebab ia amat tahu prinsip orang bugis; Taro ada taro gau, toddo puli temmalara (perbuatan harus sesuai dengan perkataan, sekali berniat tak boleh tergoyahkan).


Berangkatlah Saidi dilepas tumpah ruah air mata sang ibu, diiringi doa tulus memohon kepada yang kuasa agar Saidi selalu dalam keselamatan. Puang Baso juga membekali Saidi dengan sebilah badik.


”Bawalah badik ini, ingat nak! Badik ini warisan keluarga kita.  Hanya untuk lelaki”

(h.43)


Kalimat terakhir sang ayah, “Hanya untuk lelaki diucapkan dengan nada tinggi tanpa geletar sedih sedikit pun. Meski kalimat itu terasa amat pedas, tapi Saidi paham.

(*)


Saidi meninggalkan kampung halaman, Lappariaja Kabupaten Bone dalam bimbang tak tentu tujuan. Di setiap simpang jalan Saidi dirundung bingung memilih arah. Tapi, seolah ada kejadian-kejadian mistikal yang menuntunnya. Hingga suatu ketika, dalam perjalanan, Saidi pingsan di jalan akibat lelah dan lemah. Ditolong oleh seorang nenek bernama Sagena, pemilik warung kecil di tepi jalan.


Sebulan lamanya Saidi hidup bersama nenek Sagena yang baik hati. Saidi adalah sosok yang amat tahu balas budi, ia giat mebantu si nenek mengelola warung, hingga berkembang maju. Namun kebersamaan itu tak berlangsung lama, karena keduanya diintimidasi warga. Saidi diminta paksa pergi meninggalkan kampung Pallawa, Maros. Lagi-lagi gegara Saidi adalah calabai.


Begitulah Saidi. Kembali mengembara tanpa arah, dengan membopong luka hati. Hingga tak sengaja ia bertemu seorang pedagang keliling  yang bernama Daeng Maddenring. Pertemuan inilah yang kemudian menjadi babakan atas revolusi nasib Saidi.


Kepada Daeng Maddenring, Saidi lugas  bercerita tentang dirinya termasuk tentang identitasnya yang calabai. Daeng Maddenring tak menyoalnya, bahkan respek padanya. Bahkan ia berkenan mengajak Saidi hidup bersamanya, di Sigeri Pangkep. Menurut Daeng Maddenring, Saidi pasti cocok tinggal di kampungnya, sebab di sana ada komunitas calabai yang dihormati sejak dahulu, mereka dipercaya warga sebagai orang-orang pilihan dan memiliki kemampuan khusus, menjadi perantara makhluk bumi dengan dewata. Mereka dikenal dengan sebutan Bissu.

 

Kalau nasibmu mujur, kamu bisa dilantik menjadi bissu. Alamat itu ada padamu;  kamu calabai tetapi matamu tidak menyala karena birahi. Juga kamu meninggalkan rumah, atas kemauan sendiri, pertanda kamu memiliki ketetapan hati”

(h. 75-76).


Saidi akhirnya tinggal menetap bersama Daeng Maddenring, pedagang yang kemudian mengangkatnya menjadi anak. Mengasihinya sepenuh hati. Bagi Daeng Maddenring, Saidi menjadi pelipur sepi, setelah ia hidup sendiri ditinggal mati sang istri. 


Di Sigeri, di Negeri para Bissu, di kampung dimana calabai diperlakukan sebagai manusia Saidi terus berinteraksi dengan para bissu. Saidi memang berbeda dari calabai lainnya, ia teramat menggandrungi Attoriolong (ritual adat) yang dijalankan para bissu. Ia kerap menyisihkan waktu tuk berguru pada Puang Matoa di Bola Arajang (rumah adat), Ia belajar aksara lontara dan lahap mendedah hikayat budaya leluhur semisal I Galigo. 


Singkatnya, Saidi dalam waktu yang cukup ringkas sampai pada puncak capaian; menjadi pemimpin Bissu (Puang Matoa). Kemampuan batin yang dipunyainya, menjadikan ia banyak dipinang oleh penyelenggara event-event budaya. Menyeberang ke pulau Jawa, hingga bertandang ke mancanegara.

(*)


Bagian kecil yang juga menjadi renung refleksi; adalah ketika Asnawi yang kemudian mengubah nama menjadi Wina calabai, anak tunggal seorang hartawan, dititip orang tuanya pada Bissu karena sudah kehilangan cara menjadikan anak semata wayangnya menjadi lelaki. Dengan harapan asuhan para Bissu dapat menjadikan Asnawi menjadi Ccalabai yang lebih berguna. Wina nyatanya adalah calabai yang akrab dengan dugem.


Suatu kali, berambisi belajar ilmu Naga Sikoi (Pelet jenis aktif) dengan maksud memperdaya dan memikat laki-laki incarannya.

 

Puang Matoa menjawabnya: “Ilmu itu tidak cocok bagimu”

Kenapa? Tanyanya.

“Karena kamu sudah genit, selain itu kekayaan orang tuamu menjadi pelet yang sangat kuat pengaruhnya memikat laki-laki”

(h.254)


Selain struktur dan giat adat para bissu, yang menarik bagi saya adalah kecenderungan dan apresiasi seksual bissu yang turut dieksplor dalam novel ini. Sebagaimana umumnya calabai; mereka tertarik pada lelaki. Tetapi tidak dimungkinkan menjalin kasih dengan lelaki sebagaimana banyak dilakonkan para calabai lainnya. Kenapa? Sebab tugas utama bissu adalah menjaga keseimbangan alam dan dalam ‘teologi’ mereka; Lelaki fisik dengan lelaki lainnya jika membangun hubungan asmara akan merusak harmoni alam.


Maka dalam angan saya; Bissu adalah representasi post gender, dan masuk dalam spektrum studi feminisme kosmologi, dan kajian Tao.  Bagi pemimpin bissu dan wakilnya (puang matoa dan puang malolo) kecenderungan itu kian tertantang, sebab dalam adat, mereka dalam aktivitasnya di-asisteni oleh Toboto (lelaki tulen-belum nikah) yang kebutuhan hidupnya ditanggung oleh bissu itu hingga keharusan penanggungan biaya nikah toboto nantinya yang memiliki masa bakti maksimal 3 tahun.


Ketika Saidi [tokoh dalam novel] menyoal perkara ini dalam sebuah narasi dialog bersama seorang bissu seniornya, lagi-lagi penjelasannya memikat perhatian saya;

Kenapa calabai tidak boleh menikahi laki-laki, Puang” tanya Saidi.

“Sebab menikah bukan semata perkara jiwa, melainkan juga urusan tubuh. Jika kamu menikah dengan Parewa [perkakas] yang sama, keseimbangan alam akan rusak” Jawab Puang Matoa.

“Bagaimana dengan jiwa kita puang; jatuh cinta dan mengingini memiliki lelaki?”

“Cinta yang sesungguhnya adalah cinta yang berjarak, itulah cinta yang tepat bagi bissu. Memberi dan tidak meminta. Cinta orang tua kepada anaknya tetap suci, karena ada jarak. Tak boleh dilanggar jaraknya  [mengawininya] sebab berakibat pada kerusakan harmoni alam (h. 270-271).


Bagian lain yang yang turut memancing nalar saya, adalah soal pandangan agama terhadap calabai termasuk bissu. Untuk Saidi, sejak ia distempeli sebagai calabai, maka agama kian terasa getir baginya. Meski sedari kecil ia cukup akrab dengan giat keagamaan. Kegetiran itu terasa kian kuat kala ia mengetahui bahwa komunitas Bissu di Sigeri, seringkali mendapat teror dari kelompok agamawan, bahkan dari tuturan seniornya: Bissu pernah diserang dan Bola Arajang dibakar, dan dalam insiden itu satu orang Bissu sepuh yang memilih tetap bertahan di Bola Arajang dibakar hidup-hidup. Belakangan Saidi tahu bahwa ayahnya ternyata juga merupakan bagian dari tim penyerang kala itu. 


Para bissu menjadi mafhum, bahwa agama tidak akan pernah ramah untuk para kaum calabai. Namun, asumsi Saidi begeser, setelah menghadiri sebuah majelis ilmu [Pengajian waria]. Ia bertemu dan berinteraksi dengan Kiai Kusen [pimpinan sebuah pondok pesantren di tanah Jawa] pasca mengisi sebuah event pagelaran budaya di sana. Bahkan Saidi menyaksikan adegan yang tidak lumrah pada moment itu; seorang waria melantunkan ayat suci dengan suara yang merdu. Saidi kian terkesan dengan beberapa narasi Pak Kiai dalam dialog interaktifnya menyinggung isu calabai.

 

Kisah masa lalu di baghdad, konon seorang khalifah sangat membenci waria, hingga mengeluarkan perintah untuk memberantasnya sebab waria dalam pandangannya adalah ‘penyakit sosial’. Alhasil, para waria diusir dan Baghdad bersih dari waria. Anehnya, beberapa tahun kemudian putra sang khalifah tumbuh menjadi waria.

(h.297-298).


Perihal ancaman laknat untuk calabai [yang menyerupai lawan jenis], menurut kiai Kusen bahwa konotasi hadits tersebut adalah ‘Pembatasan Kodrat’; yang sejak awal lahir sebagai laki-laki jangan jadi perempuan, begitu pun sebaliknya.

 

Lalu bagaimana jika kecenderungan pengubahan itu bawaan lahir [naluri]?

Lagi [pandangan Pak Kiai]; yang dilaknat bukan naluri tapi perilaku.

Bagaimana dengan homoseks [Gay]?

Kembali Pak Kiai; “Allah melaknat siapa saja yang melakukan tindakan kaum Nabi Luth”. Kata kuncinya adalah tindakan, bukan perasaan.

Diberi hasrat homoseks, tapi dilarang menikah sesama jenis, ini tidak adil pak kiai?

Lagi-lagi Pak Kiai; adalah special price. Perbedaan itu menjadi peluang. Mereka memiliki ‘kesempatan’ untuk fokus mendekati Tuhan. Sebab konsentrasinya tak lagi dikebiri oleh urusan pemenuhan seksual-material. Banyak ulama Islam yang tidak menikah bukan karena kecenderungan homoseks tetapi karena argumentasi berkonsentrasi pada perkara peng-Abdi-an dan karya. Seperti Imam Nawawi dan Rabi’ah Al-Adawiyah ...(h.297-303)

 

Saidi Sumringah, ada lega bertumbuh di ruang-ruang rasanya.

Kuru’ Sumangek!

 

Siti Naisyah Ibrahim. Seorang guru, menetap di Toli-Toli, Sulawesi Tengah.

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama