Paradigmatic Boasting, dan Bagaimana Seharusnya Mengapresiasi


tanggapan atas Ahmad Abdul Basyir

ESAI, PANRITA KITTA' - EK (Eka Kurniawan) hanyalah salah seorang di antara banyak pengarang, sekaligus karya-karyanya juga adalah salah satu di antara banyak karya yang sudah ada. Olehnya, tidak ada yang istimewa, semua sama saja, seharusnya tak usah diributkan. Begitu sepertinya yang ingin ditegaskan oleh Ahmad (Ahmad Abdul Basyir), kala memberi tanggapan terhadap polemik Itho, guru Zaid, dan saya sendiri tentang EK.

Dalam tulisannya yang berjudul Pembaca Pemula Terkait Eka Kurniawan, tepatnya pada paragraf ke kedua dari terakhir, Ahmad menuliskan, "Semua karya buku itu sama saja, siapa pun penulisnya. Kalau menghasilkan buku, maka itu layak dibaca."

Secara keseluruhan, saya menangkap inti dari tulisannya itu bahwa dari sudut pandangnya sebagai pembaca pemula, seharusnya setiap karya itu diapresiasi sewajarnya, yaitu dengan cara dibaca saja terlebih dahulu tanpa disertai dengan sikap kagum secara berlebihan.

Suatu karya disusun dengan mengeluarkan energi, menggunakan waktu yang banyak, dan menguras tenaga. Maka setiap karya patut diapresiasi.

Oleh sebab itu, Ahmad menyebut sikap Itho, guru Zaid, dan saya sendiri sebagai bentuk kepongahan. Menyerang dan membela EK sebagaimana balas membalas tulisan yang dia ikuti sebelumnya, adalah sesuatu yang berlebihan.

Ada beberapa kekeliruan Ahmad dalam tulisannya itu yang menurut saya merupakan bentuk ketergesaan dalam menyimpulkan. Selain itu, terkait mengapresiasi suatu karya, cara pandang Ahmad perlu dikoreksi.

Pertama, soal kepongahan. Saya teringat tulisan Gus Ulil Abshar Abdalla yang mengutip David Berlinski untuk mengukuhkan pendapatnya dalam menyerang Qutbiisme dan Saintisme. Gus Ulil menyebut keduanya pongah karena sama-sama fanatik. Itu sikap yang berlebihan. Saya kira Ahmad juga sepakat dalam pengertian ini kala dia menggunakan frasa "rasa kagum berlebih", terlebih pada kata "berlebih" itu.

Fanatisme, atau sikap berlebihan kaum saintis, dalam pandangan Berlinski adalah "Scientific Boasting", kepongahan saintifik. Analogi itu dipinjam oleh Gus Ulil juga untuk mengidentifikasi kepongahan kaum kanan, yakni Qutbiisme (penerus sayid Quthb, yang fanatik itu). Qutbiisme juga adalah "kepongahan relijius", kesamaan Qutbiisme dengan Saintisme adalah menganggap diri paling benar, dan lawannya adalah salah, atau rendah--ini adalah kepongahan.

Kedua, Ahmad menyebut Itho, guru Zaid dan saya pongah karena adanya sikap berlebihan terhadap EK dan karyanya. Ahmad sebenarnya perlu melihat konteks ketiga orang ini. Saya sebenarnya setuju-setuju saja jika dia menyebut pongah hanya Itho dan guru Zaid saja. Sebab jika Itho menyanjung EK secara berlebihan, guru Zaid justeru sebaliknya.

Itho menyebut bahwa EK "menunjukkan kelasnya sebagai generasi baru sastra Indonesia", dan hampir saja meletakkannya setara dengan Pram--jika bukan karena konteks zaman. Ini adalah suatu sikap pujian yang berlebihan.

Guru Zaid, hanya karena kecewa dalam membaca salah satu karya EK, yakni Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, lantas menyebut EK adalah pengarang yang karya-karyanya tak perlu dibaca. Sementara dia sama sekali tidak pernah melihat karya EK yang lain, atau setidaknya ada bagian dalam salah satu karya EK yang ada hal-hal baiknya. Sikap ini, sesungguhnya adalah penolakan secara berlebihan.

Tak pelak, keduanya--Itho dan guru Zaid--sama-sama pongah, karena sikap yang berlebihan itu. Hanya saja jika Berlinski menyebut saintisme sebagai "Scientific Boasting", Gus Ulil menyebut Qutbiisme sebagai "Kepongahan Relijius", maka saya menyebut keduanya "kepongahan paradigmatik"--Paradigmatic Boasting.

Jika saja Ahmad mencermati dengan baik tulisan saya yang terakhir, yaitu Mengapresiasi Bukan Berarti Memuja, dia tidak perlu menyamakan sikap saya dengan Itho yang memuji EK secara berlebihan itu.

Ketiga, yang dikemukakan oleh Ahmad tentang apresiasi itu sesungguhnya adalah apresiasi paling minimal. Siapa bilang suatu karya ditulis bukan untuk dibaca? Tetapi mengapresiasi lebih dari itu bukanlah sebuah masalah. Mengungkapkan kesalutan atas talenta seorang pengarang bukanlah suatu kepongahan, malah sikap itu adalah suatu akhlak yang terpuji. Asalkan tidak melebihi dari yang sewajarnya (berlebihan), yang oleh Ahmad dipersoalkan.

Bahwa seorang penulis (writer) atau seorang pengarang (author) menempuh jalan yang berdarah-darah dalam menghasilkan karya, itu satu hal. Kehebatan suatu karya adalah hal yang lain. Tetapi nampaknya Ahmad hanya mendasarkan apresiasi pada proses yang berdarah-darah itu, sedang mengapresiasi suatu karya yang memiliki kelebihan dari yang lainnya dianggapnya sebagai suatu kepongahan.

Satu hal yang luput dari perhatian Ahmad, bahwa suatu saat dia tidak akan mengapresiasi suatu karya yang ternyata diketahuinya adalah hasil plagiasi. Hal ini sekaligus membantah apa yang dia tuliskan pada paragraf kedua dari terahir dari tulisannya itu.

Ahmad harus segera mengoreksi cara pandangnya. Jika tidak, maka ia juga selamanya akan termasuk dalam kategori Paradigmatic Boasting, kepongahan paradigmatik.

Saeful Ihsan. Seorang blogger dan youtuber. Menetap di Palu.

ilustrasi dari U-Report

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama