Jangan Silau pada Eka Kurniawan dalam Pikiran Itho Murtadha


tanggapan atas resensi buku ala Itho Murtadha

ESAI, PANRITA KITTA' - Nafsu membaca setiap orang tentu saja berbeda-beda. Boleh jadi, kita memiliki nafsu yang sama pada satu dua buku tertentu. Namun pada saat yang sama, terhadap satu dua buku yang lain, kita niscaya menunjukkan perbedaan selera yang tajam.

Kalaupun tiba-tiba Itho sampai mengungkapkan kekagumannya terhadap Eka Kurniawan, melalui resensi buku dan esai-esai sastranya, bagi saya itu adalah sesuatu yang 'alamiah' begitu saja. Kalaupun ada yang istimewa, itu karena selera Itho dan pembacanya sedang berada di atas nampan kesukaan dan kesadaran yang sama.

Demikian halnya, kekaguman masyarakat Salafy Modern dengan karya-karya Bin Baz, Al Jauziah dan Abdul Wahab. Mereka menganggap bahwa karya-karya tersebut mewakili hati dan imajinasi mereka pada jalan kesucian agama tanpa bid'ah.

Maka tak usah heran, bila pengagum karya-karya Khomeini, Mutahari, dan Thabatabai juga diliputi 'orientasi sikap' yang sama. Mereka teguh membela keyakinannya, meski setiap saat tuduhan sesat silih berganti datang bahkan dalam wujud intimidasi dan kekerasan.

Menurut saya, nafsu membaca itu lebih pada perkara 'pertautan ruhani' antara penulis dan pembacanya. Bila terjalin kesamaan rasa, hati, pikiran dan imajinasi, maka pada saat itulah seorang pembaca mulai merasakan getar-getar ketakjuban pada setiap aksara si penulis.

Dalam konteks ini, saya berbeda dengan Itho soal Eka Kurniawan (EK). Bagi saya, EK adalah penulis yang karya-karyanya tak perlu dibaca, diburu bahkan dipromosikan begitu intens. Toh, tanpa EK masih banyak karya-karya sastra mutakhir Indonesia, yang lebih signifikan untuk dinikmati seperti dua novel Leila S. Chudori yang berjudul PULANG dan LAUT BERCERITA  maupun novel berjudul AMBA yang ditulis Laksmi Pamuntjak.

Awalnya, saya mengenal nama EK sebagai salah satu pemenang Kusala Sastra Khatulistiwa. Saya pun membeli bukunya yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibalas Tuntas.

Namun sayang, saya tidak bernafsu untuk menyelesaikan buku itu. Seingat saya, buku itu hanya sanggup saya selesaikan satu bagian saja. Selanjutnya, saya kehilangan nafsu untuk menuntaskannya secara keseluruhan. Gaya cerita ala EK, tidak sebombastis pengakuan Itho.

So, kalaupun Itho menilai karya-karya EK sangat kuat dan menginspirasi kritik sosial yang lebih berbobot, bagi saya, itu sebuah pandangan yang 'amat' subjektif. Sah-sah saja. Toh, itu pandangan pribadi.

Apalagi dengan usaha menghadirkan Ayu Utami, Dewi Lestari, bahkan Pram di antara nama EK. Saya pikir EK, masih jauh di belakang Pram. Bahkan Novel Legendaris Max Havelaar karya Multatuli, masih memiliki jangkauan pengaruh yang lebih besar dan signifikan.

Novel-novel Pram bukan sekadar narasi aliran realis biasa, namun yang lebih penting dari semua itu, karya-karya Pram merupakan potret kenyataan sejarah sebuah bangsa besar di masa lalu.

Pram mampu mewakili seluruh desir rasa, lara derita, ataupun humor keabadian tentang penjajahan. Karya Pram juga kaya tentang kisah kesetiaan satir dan juga ekspresi jiwa puluhan juta masyarakat Indonesia di awal abad XX. Sementara karya-karya EK, Ayu, dan Dee, tidak sepenuhnya berangkat sekaligus berpihak pada kegelisahan sekelompok anak bangsa, yang memang pantas untuk diperjuangkan.

So, membandingkan 'level' Pram dan penulis-penulis zaman NOW, nampaknya merupakan sebuah ketergesaan yang mubazir. Bila huruf-huruf Pram adalah suara zaman, maka menurut saya, huruf-huruf novelis Indonesia kontemporer masih pada tahap kemampuan membahasakan suara kaum minoritas. Mereka belum bisa bersuara atas nama suara zaman kita.

Zaid Ali. Pegiat Komunitas Pena Hijau Takalar.

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama