tanggapan atas resensi Itho, tanggapan guru Zaid, dan tanggapan atas tanggapan oleh Itho
ESAI, PANRITA KITTA' - Zaid --yang seorang guru, menurut (dugaan) saya, tidak melepaskan jiwa keguruan dalam dirinya kala memandang Eka Kurniawan (EK). Kita tahu, bahwa seorang guru pada umumnya tidak menyukai murid yang nakal. Walau ada yang berhasil menyembunyikan kejengkelan, tetapi tetap saja lebih menyenangi murid yang penurut dan baik hati.
Mengapa saya menduga demikian? Karena Zaid hanya berhenti pada cukup menamatkan bagian satu saja novel EK yang berjudul Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Dia tidak menjelaskan alasannya mengapa. Hanya tidak suka saja gaya berceritanya. Sementara gaya bercerita EK itu liar, ia terlalu nakal untuk ukuran penulis best seller; EK seperti tidak memfilter sama sekali kata-kata tidak senonoh yang digunakannya menurut standar kepantasan umum.
Apalagi dalam novel yang telah disebutkan itu, EK tidak mencarikan kata ganti untuk diksi-diksi vulgar seperti kemaluan, demikian halnya dengan ngaceng, dan lain sebagainya. Semua diungkapkan secara telanjang dan apa adanya. Bahkan disajikan seenak hati dan semau pengarang. EK bikin cerita sesuai dengan imajinasinya tentang fakta yang tersembunyi di sudut-sudut kebudayaan masyarakat; suatu episode kehidupan yang hanya dialami oleh orang-orang tertentu, yang kisah hidupnya terlalu menjijikkan untuk diungkap.
Saya tidak yakin kalau Zaid tidak membaca karya-karya EK yang lain, sehingga dia menyimpulkan bahwa bagi dia, EK adalah penulis yang karya-karyanya tak perlu dibaca, diburu bahkan dipromosikan begitu intens. Alasannya? Karena masih banyak karya-karya sastra mutakhir Indonesia, walau tanpa kehadiran EK.
Entah mengapa, saya menafsirkan bahwa Zaid mencoba menafikan EK, berarti sekaligus menafikan kekhasan karya-karya EK, hanya karena dia tidak suka dengan gaya EK bercerita. Tetapi kita tidak bisa menggugat selera, sesuatu yang ukurannya suka atau tidak suka. Zaid tentu bebas untuk mengungkapkan ketidaksukaannya, dan dalam konteks ini Zaid juga tidak mengharuskan orang lain untuk bersikap seperti dia. Karena ketidaksukaannya itu subjektif.
Bagi saya pribadi, Eka Kurniawan adalah penulis--lebih tepatnya pengarang--yang patut diapresiasi. Dalam pandangan saya, EK menggunakan kata-kata telanjang sekadar untuk mencari sensasi, agar masalah sesungguhnya yang diangkat EK bisa dilirik terlebih dahulu. Ya, kita tahu bahwa selera humor kaum lelaki selalu yang bernuansa cabul. Walau tidak semua lelaki seperti itu.
Mengapresiasi EK sebagai penulis favorit bukan berarti menjadikannya sebagai pemegang nilai yang harus dijunjung, diikuti, dan dibela habis-habisan. EK di mata para fansnya, tak seperti Bin Baz bagi kaum Wahabi, atau seperti Imam Ali bin Abi Thalib bagi pencinta Ahlulbait. Karena EK bukan datang dengan kebenaran, tetapi dengan talenta, dan kita sadari itu.
Baiklah, untuk mengomentari argumentasi guru Zaid, saya cukup pada novel EK yang satu ini, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas. Satu-satunya karya EK yang disebutkan judulnya pada saat Ia menanggapi resensi kanda Itho. Kalau saya, tak akan berhenti pada gaya berceritanya, melainkan melihat apa sebenarnya yang hendak diangkat oleh pengarang?
Ajo Kawir, tokoh utama yang diceritakan mengalami problem seks yang membuatnya dilema berhari-hari, ia tak bisa ngaceng. Geli juga sih sebenarnya membaca hal ini diulangi terus menerus pada setiap bab. Akan tetapi, yang menarik adalah, saat lelaki kehilangan kemampuan ngacengnya, ia hidup dengan kenyataan yang pahit, stres, dan sulit untuk berpikir jernih.
Gegara dilanda impotensi akibat kedapatan ngintip aksi nakal dua petugas terhadap seorang janda nirwaras, Ajo Kawir menjadi sosok pemurung, emosinya meluap-luap, dendamnya tak terbayarkan. Olehnya, ia bersedia berkelahi dengan siapa saja, termasuk dengan preman nomor wahid di kampungnya--si Macan.
Kisah cintanyapun jadi berantakan. Iteung si pendekar wanita yang mencintainya, yang dulu ditaklukkannya melalui kekalahannya bertarung bersama Iteung, lalu dinikahinya, tak dapat disentuhnya layaknya pasangan suami isteri lainnya. Hingga Iteung hamil, hasil dari orang lain. Ajo Kawir semakin meratapi nasibnya.
Bagaimana kalau kita yang berada pada posisi Ajo Kawir? Berapa orang yang bisa tetap berperilaku positif jika mengalami nasib yang demikian?
***
Membaca resensi buku kumpulan Cerpen EK, Cinta Tak Ada Mati oleh Itho Murtadha, menjadikan saya mengingat kembali cara bercerita EK yang khas. EK memiliki selera humor yang tinggi, saking tingginya jadi keterlaluan. Dia bebas saja mengambil apapun yang menjadi bahan leluconnya. Bagi saya, adegan paling lucu yang dibuat EK adalah pada novel Cantik Itu Luka, tepatnya pada bagian tentang Alamanda yang berhasil membuat (mohon maaf) celana dalamnya memiliki perlindungan berlapis dari suaminya: terbuat dari baja, dipasangi gembok, dan dilindungi mantera sakti.
Alamanda merupakan puteri Dewi Ayu si Pelacur, terpaksa menikah dengan seorang Shodanco lantaran sudah terlanjur dinodai dengan cara yang curang. Ia diperkosa dengan cara dibius.
Dalam hal mengomentari tulisan kanda Itho, saya tertarik pada seputar novel Cantik itu Luka karya EK yang dibahasnya. Itho berkata, "Eka juga dikenal pula sebagai penulis surealis, memadukan hal-hal yang tak nyata dan yang nyata." Contohnya, Dewi Ayu yang bangkit dari kubur, setelah berdasawarsa sebelumnya dinyatakan meninggal, dan kita percaya itu.
Menurut pembacaan saya, sosok Dewi Ayu yang ditampilkan dalam bentuk person itu sekadar simbolik. Saya menangkap bahwa, maksud EK, wanita bernasib seperti Dewi Ayu bisa terlahir kembali, atau bisa bangkit dikemudian hari dalam bentuk yang lain, mereka yang belakangan mengenal lebih dalam terhadap realitas. Jadi, makna denotatifnya bukanlah mistik, tetapi ini adalah rangkaian kejadian yang ada pada setiap zaman.
Dewi Ayu dalam bentuk paling awal, yaitu ketika awal mula masuk di penjara pemerintahan Jepang. Ia ditangkap karena memiliki ciri belanda: mata biru, kulit putih, dan rambut pirang, walau tetap lebih mirip dengan wanita pribumi. Karena Dewi Ayu adalah Indo--campuran pribumi dan Belanda totok (asli).
Dewi Ayu bukan melakukan perlawanan, tetapi ia menukar kehormatannya dengan keselamatan seorang anak yang diserang panas tinggi, supaya mendapat obat penawar dari pemerintah Jepang.
Lainnya adalah dimana sosok Dewi Ayu hidup di masa normal, ia melayani satu tamu untuk satu hari tanpa rasa cinta. Ia hanya bertindak sebagai penyedia jasa bagi yang membutuhkan. Anehnya, di novel itu, Dewi Ayu yang seharusnya sudah berumur, lebih diminati para lelaki ketimbang puteri-puterinya yang cantik-cantik. Sehingga jajaran menantu pun berebut ingin merasakan bagaimana bercinta dengan sang mertua. Kalau cerita ini dimaknai denotatif, kan kacau. Tetapi begitulah cara EK, tidak memberikan panduan tertentu bagaimana harus membaca karyanya, sebagaimana penulis fiksi pada umumnya.
Ada juga pada bagian lain, realisma yang dibalut mistik. Yaitu pada bagian Rengganis si Cantik membuat pengakuan di dalam kelas, bahwa ia digauli oleh seekor anjing di toilet sekolah saat hendak buang air kecil. Teman-temannya tak satupun yang menyaksikan seekor anjing ada di sekolah selama ini.
Padahal, si Anjing tidak lain adalah putera dari Kamerad Kliwon. Si Anjing adalah sepupunya sendiri. Begini: Ia datang meniru model seekor anjing, merangkak dan menjulurkan lidah. Si Rengganis berupaya diyakinkan berkali-kali bahwa si sepupu adalah seekor anjing. Hingga si Rengganis tahunya bahwa lelaki itu adalah seekor anjing.
Pesannya apa? Sesuatu yang diulang-ulang, walau salah, suatu saat akan diterima sebagai sebuah kebenaran, dan itu berbahaya.
***
Pram adalah Pram, Eka adalah Eka.
Setiap pengarang memiliki ciri khas. Sangat kecil peluang para pengarang untuk memiliki karakter yang sama persis. Sebab mereka hidup di dunia kreasi. Setiap ciptaan memiliki kekhasannya sendiri-sendiri, ciptaan yang sama persis sudah pasti plagiasi.
Demikian halnya dengan EK dan Pram, saya juga termasuk orang tidak sepakat kalau ada yang berkata, Eka Kurniawan is the new Pramoedya Ananta Toer. Bukan lagi karena perbedaan karakter, tetapi ada beberapa faktor: Ideologi; zaman; karakter masyarakat yang dihadapi; serta daya kreasi, meliputi kekuatan dan daya tahan seorang pengarang.
Saya malah melihat bahwa EK lebih dekat ke Milan Kundera ketimbang Pram. Novel Kundera, The Book of Laughter and Forgetting juga memiliki kemiripan cara bercerita dengan novel EK, Cantik Itu Luka. Ada latar sejarah tertentu, ada kebudayaan masyarakat, ada mistik, dan yang terpenting adalah lelucon--humor.
Itho seolah tampak seperti ingin melihat adanya sedikit kemiripan antara EK dan Pram yaitu keduanya sama-sama berhaluan kiri; EK yang PRD dan Pram yang Lekra (milik PKI).
Saya jadi membayangkan, Pram mewakili kaum proletar yang melawan dalam perjuangan kelas ala Marx. Sementara EK mewakili kaum intelektual dari kalangan partai revolusioner yang memimpin revolusi, ala Lenin, atau Gramsci. Jika Pram ibarat melawan karena ia proletar, dengan segenap pikiran ala proletariat. EK ibarat menjalankan peran sebagai intelektual penggerak perjuangan, menyadarkan kelas melalui pendidikan politik.
Saeful Ihsan. Blogger dan Youtuber, menetap di Palu.
Posting Komentar