RESENSI, PANRITA KITTA’ - Sebagai seseorang
yang lahir dari rahim tradisi Bugis di Sulawesi Selatan, pertanyaan perihal
eksistensi ragam ide, aneka gagasan vital, serta sistem pengetahuan yang
mencakup konsep moral, filsafat dan keagamaan dalam masyarakat Bugis, tak
jarang merisak resah.
Penasaran
itu menyeruak terutama bila menyaksikan kedigjayaan Tiongkok, India, Yunani,
dan Korea serta berbagai tradisi besar lain di dunia yang tetap mampu hadir dan
bertahan di tengah belitan sistem pengetahuan positivistik yang
didengung-dengungkan sebagai sesuatu yang universal.
Bagaimana
mungkin, tradisi yang berhasil melahirkan karya sastra terpanjang di dunia –epos La Galigo, hampa akan struktur
gagasan vital serta semesta ide dan pengetahuan. Mungkin, kegelisahan ini juga
mengusik pikiran generasi muda Bugis, terutama yang mencoba menghidup-hidupi
kebugisannya.
Kesah
itu sedikit reda kala kutimang sebuah buku terbitan oleh Departemen Pendidikan
dan Kebudayaan tahun 1991 di bawah Proyek Penelitian dan Pengkajian Kebudayaan
Nusantara. Buku dengan tajuk Lontarak
Pangissengeng Daerah Sulawesi Selatan ini kuperoleh dalam wujud kopian.
Meski,
saat awal melihat judulnya, terutama kata ‘pangissengeng’,
yang terpatri di benakku adalah gambaran tentang jampi-jampi, mantra, atau ilmu
hitam dan sejenisnya. Hal ini membuat buku ini terabaikan dari hasrat membaca
selama ini.
Rupanya,
kata itu kupahami secara keliru. Begitu bagian pendahuluan mulai kumamah,
pengertianku yang keliru terhadap ‘pangissengeng’
menjadi berubah seratus delapan puluh derajat. Konsep inilah yang selalu
mengusik hasrat ingin tahuku beberapa waktu terakhir. Buku ini kutimang-timang
dengan seruan tertahan, "Nah, ini!"
Buku
yang ditulis oleh tim di bawah pimpinan Drs. H. Ahmad Yunus sebagai Penanggung
Jawab dan Dra. Pananrangi Hamid selaku Ketua, berisi 143 + vii halaman. Adapun
anggota tim adalah Drs. As'ad Bua, M.A., Dra. Titiek Kartikasari, Drs. soeloso,
dan Dra. Kencana S.
Sebagaimana
klaimnya sebagai lontarak pangissengeng, buku ini mengurai begitu luas gagasan
vital orang Bugis. Mulai dari tema negara dan pemerintahan, moralitas,
keagamaan, fenomena alam, hingga astrologi dan bahkan sejenis primbon, tersaji
dalam buku ini.
Baca juga: Sekilas Sistem Medis Orang Bugis
Baca juga: Sekilas Sistem Medis Orang Bugis
Dalam lontarak ini, terungkap bahwa orang Bugis percaya, betapa gerakan-gerakan refleks pada beberapa titik di tubuh kita merupakan semacam alarm bagi berbagai peristiwa yang akan dialami. Di bawah sub judul Pannessa éngngi kédoé ri watakkaléta, setidaknya ada 36 pasal yang menyebut gerak pada bagian tubuh dan implikasinya.
Berikut
beberapa kutipkan untuk memantik minat atas lontarak pangissengeng perihal kédoé ri watakkaléta ini:
1. Rékko enning atauttak kédo / mawékki
lolongeng dallék masémpo / ri amaséi toik ri padatta tau / rékko enning abéotak
kédo / mawékki lolongeng dallék [Kalau
kening bahagian kanan bergoyang, kita bakal memperoleh rezeki yang banyak.
Kitapun dikasihani oleh sesama manusia. Kalau kening bahagian kiri yang goyang,
kita bakal memperoleh rezeki] (hal. 35).
2. Rékko alépak atauttak kédo / mawék i
lolongeng alebbireng / rékko alépak abéotak kédo / mawék i engka to maraja tak
polé iwi [Kalau ketiak sebelah kanan
bergerak, kita akan beroleh kemuliaan. Kalau ketiak sebelah kiri bergerak, kita
akan menerima kunjungan pembesar negeri] (hal. 37).
3. Rékko urek poppattak kédo / mawék i malawéng
makkunraittak [Kalau urat paha yang
bergerak, isteri kita akan berzinah] (hal. 38).
Atau
percayakah anda bahwa leluhur Bugis meyakini mereka yang berambut biru (gauk)
membawa sisi buruk dan dia selalu ditinggal mati oleh orang yang dekat
dengannya seperti orang tua, anak, suami/istri, erabat, sahabat, dll., yang
dalam terminologi Bugis, dikenal dengan istilah patula.
Na
iyya magauk é gemmekna / patulai [Ada pun
yang biru rambutnya adalah patula] (hal. 39).
Sementar
perempuan yang berbadan kecil dan berlengan panjang, adalah buruk.
Na
rékko engka makkunrai baiccuk aléna / na malampék limanna / majak i [Kalau ada perempuan yang kecil perawakannya
dan panjang lengannya, itu tidak baik] (hal. 44).
Meski,
sebagian dari isi buku ini diyakini berasal dari era yang lebih lampau, namun
dalam beberapa sub bagian, pengaruh Islam sudah terasa begitu kental, terutama
pada sub bagian Pappau pangajakna to
panrita majettaé, Pannessa éngngi pangajak na to malempuk é, Pannessa éngngi
narékko si yemmek i ulengngé, serta Pannessa éngngi wéwangngé.
Sebagai
contoh, saat membahas perihal gerhana bulan (si yemmek i ulengngé), maka yang menjadi pokok pembahasan adalah
implikasi peristiwa gerhana bulan yang terjadi pada bulan tetentu yang mengacu
pada kalender hijriyah. Semisal:
Na
rékko Sulehajji wi na si yemmek ulengngé / Maseroi bosié /masulik i nanré [Kalau Zulhijjah terjadi gerhana bulan,
banyak turun hujan, makanan pun sulit] (hal. 29)
Setidaknya,
ada 15 bahasan yang diumbar dalam lontarak yang merupakan hasil penelitian yang
dilakukan di tiga daerah, Kabupaten Luwu, Kabupaten Wajo, dan Kabupaten
Jeneponto. Kelima belas bahasan itu dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
tema pokok berikut:
Sayangnya,
buku yang mencoba mengangkat khasanah kearifan lokal Sulawesi Selatan –sebagaimana ditunjukkan pada judul– ini,
tak satupun yang berangkat dari khasanah Makassar sebagai salah satu etnis
besar di Sulawesi Selatan dan menjadi penduduk dominan di Kabupaten Jeneponto
yang menjadi salah satu sentrum penggalian informasi.
Hal
lain, meskipun penyusun menjelaskan bahwa dalam penyusunannya, lontarak
pangissengeng ini mengutamakan naskah paling tua, lengkap dan terbaca, namun tak
satupun sumber primer yang disebutkan dalam kepustakaan buku, sehingga
menyulitkan pembaca yang mempunyai niat melakukan penelusuran lebih lanjut pada
naskah lontarak yang dirujuk.
Buku
ini juga belum menggambarkan perspektif kosmologis masyarakat Bugis secara
terstruktur dan sistematis, tapi setidaknya mampu memberi gambaran bahwa
manusia Bugis mempunyai kerangka pangissengeng yang sedikit banyak bisa menjadi
bahan melakukan konstruksi lebih lanjut akan bangunan epistemik Bugis secara
lebih holistik.
Baca juga: Manusia Bugis Rasa Christian Pelras
Baca juga: Manusia Bugis Rasa Christian Pelras
Hadirnya buku ini minimal menjadi pemantik awal dan memberi kepercayaan diri bagi generasi Bugis belakangan, bahwa nenek moyangnya merupakan manusia-manusia jenius yang mampu merumuskan dan mewariskan struktur gagasan vital serta semesta ide dan pengetahuan yang khas. Tugas kitalah generasi sekarang untuk melestarikan dan merevitalisasinya sesuai tuntutan zaman.
Judul : Lontarak Pangissengeng Daerah
Sulawesi Selatan
Penulis : Drs. H. Ahmad Yunus, dkk.
Penerbit : Depdikbud 1991
Tebal : vii + 143 halaman
Kasman McTutu, Peminat tulisan tentang masa lalu.
Posting Komentar