RESENSI, PANRITA KITTA’
- Seorang perempuan berumur sekira 60an tahun membuka
kaleng Khong Guan, mengeluarkan biji kopi
yang telah disangrai. Dia mengamati sejenak biji kopi, membaunya, kemudian
mengambil semacam cobek batu kecil. Dia mulai menumbuk biji kopi, sambil
memastikan api tungku tetap menyala, menunggu air mendidih.
Perempuan
berkebaya itu memasukkan kopi yang telah halus dalam ‘hanya’ dua gelas. Lalu
menuangkan air mendidih yang dimasak dengan kayu bakar, dan memberi sedikit
gula pasir.
“Minumlah,
begini kopi yang selalu saya buat untuk Puang Uceng. Hari ini saya bikin lagi
dua gelas. Satu untuk saya, satu untuk cucuku.” Dia menyodorkan
segelas kopi yang asapnya masih mengepul ke
hadapan
saya. Itu kali pertama saya meminum kopi.
Saya
memandangnya lama-lama. Menunggu kalimat lain yang meluncur dari bibir
hitamnya. Dia menyeka matanya dengan ujung kebaya.
“Di
sini, di dapur ini saya sering membuatkan kopi untuk puang Uceng, awweee...
kasi'na, hari ini cucuku datang, kubuatkan lagi kopi untukta’, Nak.”
Perempuan
itu mengajak saya menyeruput kopi bersama. Kami duduk bersisian di dapur,
tempat paling rahasia dan intim bagi masyarakat setempat. Itu kali pertama saya
belajar meneguk kopi. Kopi yang disangrai dengan memasukkan beberapa ruas jahe
dan sedikit potongan daging kelapa tua sebesar telapak tangan bayi. Sejak itu
saya mulai menyukai kopi.
Tetapi
pengetahuan saya tentang kopi, hanyalah kopi yang ada
di gelas. Saya tidak menyertakan pengetahuan bagaimana kebun kopi dikembangkan, terlebih lagi
cara menyeduh kopi yang menjadi wilayah para barista.
Hingga
satu masa saya menikmati Jogja tidak sekadar kota wisata. Ketika saya mulai
belajar di Jogja, terbukalah banyak kesempatan menimba pengetahuan sosiologis
tentang kopi. Juga saya mulai berteman dengan sesama penikmat kopi. Lalu
seorang barista bercerita bahwa kopi yang diseduh pada cangkir porselen akan
berbeda rasanya dengan gelas kaca, pun akan berbeda rasa dengan yang disaji di
canteng, meskipun cara olahnya sama. Hari itu saya menyadari betapa pengetahuan
saya tentang kopi sangat tak memadai.
Kesadaran
minimnya pengetahuan tentang kopi menyatu dalam keharusan menyelesaikan bacaan
sosiologis tentang masyarakat dan pengetahuan lokal mereka, membuat saya
melebarkan pertemanan. Teman untuk berdiskusi, teman untuk saling membagi bahan
bacaan, dan tak kalah penting adalah teman yang bersedia menampung keresahan
tipikal mahasiswa.
Dari
berbagai pertemanan itu juga saya mendapat informasi bazar buku atau pameran
buku. Ini kesempatan baik bagi saya karena uang beasiswa harus dihemat sedemikian
rupa. Lalu sampai pada saat saya mendatangi bazar
buku di Gramedia Sudirman Yogyakarta. Saya menemukan buku
berjudul Kopi, Adat Dan Modal di
keranjang buku-murah. Buku ini dijual seharga Rp 15.000. Buku yang diterbitkan
pada tahun 2013 melalui kolaborasi tiga lembaga pemerhati masalah agraria yakni
Yayasan Tanah Merdeka Palu, Tanah Air Beta Yogyakarta, dan Sajogyo Institute
Bogor.
Kopi,
Adat dan Modal saya miliki pada tanggal 06 September 2015. Ketika itu saya
tinggal di Bogoran Bantul Yogyakarta. Buku ini adalah disertasi Claudia
D'Andrea yang ditulis untuk University of California Berkeley tahun 2003.
Claudia
menulis disertasi berdasarkan penelitian mendalam pada masyarakat adat Katu di
Sulawesi Tengah. Masyarakat Katu berhasil menggunakan terminologi ‘adat’ untuk
mendefinisikan diri mereka yang mana dengan kosntruksi tersebut mereka berhasil
merebut tanahnya yang dikuasai negara selama bertahun-tahun. Negara atas nama
lingkungan telah mengambil dan kemudian mengusir orang Katu dari kampungnya.
Tanah orang Katu dijadikan Taman Nasional, dan pemilik Tanah dilarang
menempatinya.
Orang
Katu memperjuangkan kembali tanah mereka yang diambil negara tersebut bukan
tanpa momentum. Mereka menemukan momen yang pas ketika reformasi 1998
berlangsung dengan dibantu oleh para aktivis masyarakat adat yang tergabung
dalam Yayasan Tanah Merdeka.
Pasca
pengambilan kembali tanah mereka, orang Katu menggantungkan hidupnya pada empat
jenis tanaman; padi, coklat, rotan, dan kopi. Saya mencari-mencari jika ada
empat jenis tenaman yang dominan, mengapa kopi
menempati kedudukan istimewa sehingga hanya tanaman kopi yang termaktub dalam
judul disertasi maupun buku ini.
Saya
kemudian mencatat pada indeks kata coklat muncul 26 kali, sementara kopi muncul
25 kali. Gerangan apakah yang dikandung kopi hingga penting untuk dimasukkan
sebagai judul buku ini? Saya akhirnya menemukan antara lain bahwa orang Katu
secara indigineous memang menanam
kopi, bukan coklat. Rotan adalah hasil hutan yang tidak mereka budidayakan di kebunnya.
Padi adalah tanaman yang yang baru dikembangkan.
Dari
305 halaman buku yang terdiri dari 7 bab, saya menjadi tahu bagaimana tanah
yang hilang dapat diambil kembali. Perjuangan untuk mengikat diri mereka dalam
kesatuan adat yang abstrak bukan hal yang gampang. Ketika adat sulit
didefiniskan, muncullah kesadaran adanya common
enemy yang harus dihadapi bersama.
Dari sinilah adat menemukan jalan untuk dimanfaatkan.
Claudia
mencatat bahwa adat bagi orang Katu bukan sekadar romantisme budaya
masa lalu belaka. Adat dipakai untuk menunjukkan batas teritori mereka, lalu
kemudian adat dimanfaatkan untuk merebut kembali tanah tersebut. Adat akhirnya
bukan semata-semata sejarah tentang apa yang dilakukan oleh leluhur, tetapi
adat adalah upaya dinamik atas legacy
yang ditinggalkan agar memberi manfaat bagi masyarakatnya.
Jika
adat bukan sekadar cerita masa lampau, dan karenanya dia membutuhkan pemaknaan
yang baru –yang dalam
bahasa sosilogisnya disebut kontekstualisasi, maka sudah saatnya
kopi dinikmati tidak sekadar duduk ngopi, padanya perlu basis pengetahuan yang
kuat, agar kopi kita menjadi semakin bermakna dan berkelas.
Makassar, 17
Januari 2019
Judul : Kopi, Adat dan
Modal
Penulis : Claudia D’Andrea,
Ph.D
Editor : Noer Fauzi
Penerjemah: Budi Prawitasari
Penerbit : Yayasan Tanah
Merdeka, Tanah Air Beta & Sajogyo Institute
Terbit di : Bogor (Mei, 2013)
Halaman : 270 halaman
Ida Azuz.
Dosen Fakultas Pertanian Universitas
Bosowa Makassar.
Posting Komentar