Provokator Jenius

RESENSI, PANRITA KITTA' - Buku Setan Jenius terbagi dalam empat bagian. Masing-masing bagian memuat lima judul. Bagian satu dan dua ditulis dalam bentuk esai-esai ringan yang menyoroti berbagai isu dalam pendidikan Indonesia dewasa ini. Sedangkan pada bagian ketiga dan keempat, selain ada yang ditulis dengan bentuk esai adapula yang ditulis dengan menggunakan teknik penulisan karya ilmiah, dalam bentuk makalah.

Bagian pertama mengangkat isu literasi Indonesia, yang beberapa tahun belakang menuai sorotan tajam. Terutama setelah rilis dari UNESCO tahun 2012 yang menyebutkan bahwa indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya dalam setiap 1.000 orang, hanya ada satu orang yang punya minat baca (hal. 11).

Data ini sudah sangat sering diungkapkan dan populer dibicarakan. Itu artinya, data tersebut menjadi yang primer dan sangat memengaruhi performa sebuah bangsa. Betapa tidak data ini semacam pukulan berat bagi pemerintah khususnya yang bersentuhan langsung dengan masalah literasi.

Lahirnya kebijakan pemerintah Surabaya yang menjadikan kota Surabaya sebagai kota literasi, ataupun pemerintah pusat dalam hal ini kementerian pendidikan dan kebudayaan yang menelorkan kebijakan tentang gerakan literasi sekolah, gerakan 15 menit baca buku sebelum memulai pelajaran.

Demikian halnya dengan penulis buku ini, yang juga seorang guru, notabene berkecimpung dalam persoalan literasi, merasa perlu membangkitkan dan mengembangkan budaya literasi bagi generasi bangsa Indonesia. Lihatlah harapan-harapannya dalam esai-esainya di bagian awal yang terus memprovokasi seluruh komponen bangsa agar terlibat mengembangkan budaya literasi.   

Penulis buku Setan Jenius ini, merupakan seorang penggiat Literasi asal Bondowoso, yang kesehariannya juga melakoni pekerjaan sebagai Guru pendidikan dasar, tingkat SMP.

Tulisan-tulisannya dalam buku ini, pun banyak dipengaruhi oleh pergulatannya sebagai seorang pengurus organisasi profesi guru, apatah lagi sebagai ketua umum IGI kabupaten Bondowoso, Jawa Timur. Hal ini bisa dilihat dari artikel/esainya pada bagian dua yang berjudul, IGI: Bicara banyak tanpa banyak bicara (hal: 38).

Bahkan pada bagian kedua buku ini, banyak membicarakan organisasi guru yang sedang dikawalnya ini, secara tak langsung buku ini mempromosikan apa dan bagaimana organisasi Ikatan Guru Indonesia (IGI) tersebut.

Pihak yang semestinya paling bersemangat untuk bergerak meningkatkan kompetensi guru adalah organisasi profesi (orprof guru). Lebih khusus lagi adalah orprof guru yang suka mengklaim sebagai orprof yang dulu getol memperjuangkan kesejahteraan guru segingga guru mendapat TPP (Tunjangan Profesi Pendidik).

Lantas setelah disejahterahkan, mana bentuk pertanggungjawaban dalam mengkawal peningkatan kompetensi guru? (hal.56).

Demikian sekelumit penyataan dan pertanyaan provokatif penulis dalam buku ini, yang secara tersirat mengungkapkan kegundahan hatinya dalam melihat kinerja organisasi profesi guru yang lebih banyak mengklaim dirinya sebagai organisasi profesi guru paling resmi dan paling diakui pemerintah, dan telah memaksa guru untuk memakai seragam batik hitam-putih sehari dalam sepekan. 

Provokasi penulis juga dapat dilihat pada bagian ketiga, dengan menyoroti kebijakan pemerintah dalam lembaga pendidikan yang bernama sekolah dan segala perangkatnya. Sekolah saat bersentuhan dengan dunia industri, hampir telah melenceng dari tujuan utamanya sebagai lembaga pedidikan yang bertujuan untuk mencerdaskan seluruh kehidupan bangsa.

Pada praktiknya sekolah saat ini, lebih mengedepankan kecerdasan kognisi daripada kecerdasan emosi. Lebih mementingkan nilai jual daripada nilai guna.

Pembahasan tentang setan jenius, akan didapatkan pada bagian keempat, Menulis Cerpen dengan Bantuan Setan Jenius (hal. 146). Kehadiran setan jenius dalam menulis dijadikan solusi oleh para siswa binaan penulis, khususnya dalam menulis cerpen.

Seperti biasanya, jika siswa ditugaskan menulis cerpen, maka cerpen yang tersaji adalah cerpen yang berjalan lurus, mulus tanpa konflik. Sehingga saat dibaca pun akan terasa hambar dan biasa-biasa saja.

Agar siswa berani menulis cerpen yang berkonflik dan berwarna, maka perlu menghadirkan tokoh antagonis, tokoh berlabel penjahat, bajingan dan berperangai buruk. Dan yang akan dikambinghitamkan saat kehadiran tokoh berwatak jahat ini adalah setan. 

Mengapa disebut setan jenius? Tentu saja, ketika yang dipakai berlabel malaikat, maka cerpen yang akan ditulis akan kembali pada cerpen yang baik, dan mengikuti jalan lurus, keharmonisan dan pembaca pun akan merasa bosan.

Tetapi saat penulis menghadirkan setan jenius dalam dirinya saat merangkai cerita, maka tulisannya akan lebih kompleks, karena setan akan menggodanya untuk menulis dan menghadirkan tokoh antagonis. Itulah sebabnya dia disebut setan jenius. Setan yang menggoda dan memprovokasi untuk menulis yang lebih berwarna, bersayap dan berliku.

Pemilihan judul Setan Jenius, memiliki nilai tambah bagi kehadiran buku kumpulan provokasi pendidikan ini, judul yang tidak populis dan kontroversial. Disamping itu, juga karena isinya yang juga sangat berbobot dan memiliki kualitas tinggi.

Penulis tanpa canggung dan sungkan berani menulis dan menyorot berbagai macam hal dalam dunia pendidikan, ketimpangan-ketimpangan yang terjadi dalam dunia pendidikan.

Misalnya, penulisan PTK yang dalam praktiknya marak terjadi plagiasi (hal.71) adanya kecurigaan terhadap bimbel yang ikut andil dalam memberikan bocoran soal UN (hal. 76) kekerasan simbolik yang masih marak terjadi di sekolah (hal.93)

Tidak semua kebijakan yang berlaku saat ini dikritik oleh penulis, ada pula yang diapresiasi. Seperti, kebijakan menteri pendidikan dan kebudayaan, era Anies Baswedan yang mengganti Masa Orientasi Sekolah menjadi Pengenalan Lingkungan Sekolah, tidak hanya mengganti nama, sistem pelaksanaannya pun dirombak (hal. 81)

Penggunaan bahasa yang lugas dan sederhana, akan memudahkan para pembaca memahami maksud dan tujuan penulis dalam menabalkan isu-isu yang didedahnya. 

Saya melihat dalam buku ini, masih ada beberapa kelemahan dalam penulisannya, misalnya beberapa ungkapan tokoh pendiri bangsa akan pentingnya literasi yang masih terulang di beberapa bagian tulisan.

Demikian halnya dengan data atau fakta yang dimunculkan dalam buku ini sering berulang, padahal data atau rilis dari sumber dan lembaga lain yang bisa diyakini kebenarannya, dapat dimunculkan dalam buku ini, guna menguatkan pendapat penulis.

Demikian halnya saat penulis Setan Jenius membicarakan Buya Hamka, dalam sebuah tulisan hasil resensi buku, tidak menyebutkan judul buku yang diresensi (Buya Hamka Seorang Literat Sejati, hal. 16) sehingga pembaca lain akan kebingungan dengan sumber bacaan penulis, meskipun saya sebagai resensor mengerti akan maksud penulis.

Tetapi kelemahan yang saya sebutkan pada buku ini, tidak mengurangi kualitas dari tulisan-tulisan provokatif penulis. Sehingga pembaca layak untuk membacanya dari awal hingga tuntas, dan rugilah rasanya setelah membaca buku ini, kita tidak ikut terprovokasi.

Judul : SETAN JENIUS, Kumpulan Provokasi Pendidikan
Penulis : Mohammad Hairul
Penerbit : CV. Intishar Publishing
Tahun : 2018
Halaman : viii+172 Halaman
ISBN : 978-602-5611-37-7
Harga : Rp. 35.000

Ahmad Rusaidi, Relawan Sudut Baca Al Syifa, Ereng-Ereng Bantaeng.

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama