RESENSI, PANRITA KITTA’ - Oktober 2015 lalu, kita disuguhi sebuah novel
yang ditulis oleh Faisal Oddang, mahasiswa jurusan Sastra Indonesia di
Universitas Hasanuddin. Sebuah novel tentang Toraja --salah satu destinasi
wisata andalan Sulawesi Selatan, dengan judul, Puya ke Puya. Novel ini sarat
dengan ulasan mengenai aluk Toraya (adat Toraja).
Seperti
pengakuan Faisal saat Puya ke Puya didiskusikan di Daun Caffe
Jakarta(28/18/2015), “Novel ini saya buat atas keresahan saya terhadap adat dan
kehidupan modern. Dimana saya mencoba untuk mempertikaikan keduanya di sini.”
Faisal seperti mencoba mengurai tikai antara aluk Toraya dengan kehidupan
modern yang melingkupinya.
Selintas,
novel yang menjadi Pemenang IV Sayembara Menulis Novel DKJ 2014 ini memang
seperti itu. Tapi bila dibaca secara saksama, novel ini alih-alih memuat
dinamika argumentatif antara dua kubu secara berimbang, novel ini malah
menggambarkan betapa letihnya aluk Toraya bertahan dari gempuran modernisasi.
Ini potret tentang kekalahan yang menyakitkan.
Hal
ini terlihat dari kurangnya elaborasi serta minimnya interpretasi memadai atas
aluk dalam perspektif leluhur. Sepanjang novel 211 halaman ini, hanya pada
halaman 5, ditemukan pembicaraan soal nilai yang dimuatkan ke dalam aluk. Lewat
tokoh Rante Ralla, “Cobalah kau lihat nilai yang selama ini kujaga.
Kebersamaan, gotong royong, dan yang paling penting tanggungjawab. Ingat,
tanggung jawab!”
Bilapun
elaborasi soal aluk dilakukan berpanjang-panjang pada beberapa subbab, elaborasinya
lebih terkesan teknis dan normatif belaka, jauh dari kesan dinamis. Seperti
ketika mengulas pasal memotong kerbau dalam upacara rambu solo sebagai
kendaraan ke puya, Faisal cuma menekankan secara teknis, harus tedong bonga.
Argumentasi kenapa harus tedong bonga, novel ini menjawab dengan normatif, demi
kehormatan keluarga (hal. 14 - 15).
Bahkan
terkesan, novel ini memihak pada modernitas yang diwakili oleh Allu. Ketika
dirinya mengemukakan secara terang-terangan penolakan atas rambu solo, bukannya
mendapatkan bantahan secara rasional dan argumentatif, Allu malah direpresi
dengan kekerasan. Paman Marthen langsung main tebas, dan hampir saja kepala
Allu lepas (hal. 10 - 11). Ini membuat pembaca membangun posisi apriori secara
psikologis terhadap aluk.
Atau
ketika Allu menjelaskan, “Kebudayaan adalah produk manusia, manusia dan
kebudayaan itu dinamis sesuai ruang dan waktu, dan relevansi dengan zaman
sangat penting sebagai acuan untuk mempertahankan sebuah tradisi yang merupakan
bagian dari kebudayaan itu. Acuan untuk tetap melakukannya atau tidak dan saya
pikir zaman sudah tidak relevan dengan yang kalian pertahankan”. Respon yang
mucul tak lebih dari sumpah serapah, “Banyak bicara kau!”, “Kau sok pintar,
Allu!”, “Lucu? Ha? Kau gila.” (hal 20).
Ketika
Allu menolak bantuan kerbau dan babi dari kerabat untuk pelaksanaan rambu solo,
bahkan menuduh bantuan tersebut sebagai utang, juga tak ada sanggahan sama
sekali (hal 21). Bahkan Rante Ralla pun, di awal kisah mengakui kecenderungan
negatif dari tradisi ini, “Soal biaya, itu yang kau takutkan? Itu memang ada
benarnya bila dilihat dari satu sisi.” (hal. 5). Ini menimbulkan tanya, apa
benar Faisal sebagai penulis telah memutuskan untuk berpihak, atau ini semata
karena sulitnya mendapatkan argumentasi budaya dari perspektif orang terdahulu?
Di
beberapa subbab, terutama di bagian akhir, nuansa kekalahan aluk Toraya pada
modernitas, semakin kental terasa. Para leluhur seperti kehilangan akal untuk
menyadarkan keturunannya, pun kehilangan muka menanggung malu atas tingkah
polah anak cucunya. Sehingga beberapa ungkapan yang muncul menyiratkan
keletihan dan kepedihan, “Di puya, leluhur sedang bingung.” (hal. 17). Bahkan
tanya “Kenapa surga diciptakan?” dilontarkan berkali-kali tanpa jawab, dan
leluhur tak kuasa memberi hukuman.
Namunpun
demikian, novel ini tetap layak dibaca, seabrek prestasi yang ditorehkan
penulisnya menjadi jaminan kualitas karya ini. Seperti endors Budi Darma dalam
novel ini, “Kekuatan karya-karya Faisal Oddang mencakup berbagai dimensi, antara
lain kemampuan bercerita, obsesi yang selalu mengejar nuraninya, dan kemampuan
untuk mengamati.
Kemampuan
bercerita Faisal dengan point of view yang berganti-ganti, malah lebih mudah
diikuti. Hal ini berbeda dari Tasaro dalam Muhammad: Lelaki Penggenggam Hujan
yang membuat pembaca harus mengernyitkan kening untuk mengikuti arus
perpindahan point of view-nya yang kadang tiba-tiba. Kemampuan untuk
mengamatinya juga cemerlang, ini terlihat dari proses kekalahan aluk oleh nilai
modern seperti individualisme dan materialisme yang tergambar dalam karakter
tokohnya.
Tapi
mengenai obsesi yang selalu mengejar nuraninya, soal ini perlu ditanyakan
langsung pada penulisnya. Meskipun Faisal telah mengatakan bahwa, “Novel ini
saya buat atas keresahan saya terhadap adat dan kehidupan modern. Dimana saya
mencoba untuk mempertikaikan keduanya di sini." Apakah Faisal mendorong
tranformasi aluk Toraya, atau memilih menyokong 'pemberontakan' dan menyisihkan
aluk untuk hanya berumah di alam baka dan berkuasa negeri orang-orang mati?
Sebagai
bandingan dengan beberapa penulis novel berbasis tradisi di Sulawesi Selatan,
Atte’ Sherly Maladevi dalam Titisan Cinta Leluhur dan Djarina memilih
meneguhkan tradisi Bantaeng, meskipun kemampuan bercerita menjadi titik
lemahnya. Atau Rampa’ Maega dalam Landorundun yang mengupayakan rekonstruksi
aluk Toraya di tengah kehidupan modern. Namun kelemahan Rampa’ Maega, adalah
pada keahlian writerpreneur. Di titik kemampuan bercerita dan pengemasan yang
baik ini menjadi kelebihan Faisal.
Muhammad Kasman, Pegiat Makassar Book Reviu
Pokok-pokok pikiran dalam tulisan ini
mengemuka pada Bedah Novel Puya ke Puya, Jumat 04 Desember 2015. Tulisan ini
juga dimuat di harian Fajar, Ahad 13 Desember 2015.
Posting Komentar