RESENSI, PANRITA KITTA’ - “Ayah adalah
putera Syekh Abdul Karim,seorang ulama yang cukup terkenal di Sumatera. Kami
biasa memanggil Syekh Abdul Karim dengan sebutan Innyiak Doktor. Ibunya bernama
Shaffiah. Ayah merupakan anak sulung dari empat bersaudara. Sebagai anak
seorang ulama, beliau pun dicita-citakan oleh ayahnya menjadi seorang ulama.
Untuk itu, selain bersekolah di Sekolah Desa, Innyiak Doktor memasukkan ayah ke
sekolah pendidikan agama yaitu diniyah.”
Haji
Abdul Karim Amrullah atau masyhur dengan panggilan Buya Hamka tidak hanya hebat
bermain silat dan disebut seorang pendekar. Tetapi kehebatannya pun dalam
berbagai bidang kehidupan yang membuat dirinya tercatat sebagai tokoh nasional.
Dalam
keluarga, beliau mendidik anak-anaknya dengan penuh dedikasi yang tinggi.
Kepemimpinannya dalam keluarga dijalankan dengan penuh ketegasan, tapi juga
dengan lemah lembut. Misalnya, bagaimana cara beliau menegur anaknya yang
berbuat salah, seperti yang diceritakan penulis buku ini.
Kehebatan
Buya Hamka dalam bidang keagamaan pun tak diragukan. Lahirnya tafsir al-Azhar, serta berbagai buku
pemikiran, tasawuf menjadi bukti akan kehebatan beliau.
Dalam
bidang kesusastraan, beliau tidak ketinggalan. Novel-novel yang menggugah dan
masyhur hingga hari ini lahir dari tangan sang Ayah. Itulah sebabnya juga
digelari ulama sekaligus sastrawan.
Kehebatannya
juga dibuktikan sikap hidupnya berhubungan kepada sesama mahluk Allah SWT. Buya Hamka tetap memaafkan Pramoedya Ananta
Toer yang telah memusuhi dan memfitnahnya melakukan plagiat atas karya novel
Tenggelamnya Kapal Van Der Wicjk. Begitu pula terhadap Soekarno, presiden
pertama Indonesia, yang telah memenjarakannya. saat wafatnya, Buya Hamka tetap
mau menjadi imam salat jenazah Bung Karno.
Sang
Buya pun menebar cinta kasihnya atas makhluk Allah yang lainnya, baik itu
kepada binatang maupun bangsa jin. Sebagaimana dikisahkan dalam buku ini pada
bagian Ayah berdamai dengan jin dan Si kuning, kucing kesangan ayah.
Saya
yakin semua kehebatan beliau, karena kecintaannya terhadap buku, sejak masih
belia, senantiasa membaca berbagai jenis buku dari berbagai gendre dengan
mengunjungi taman baca di kampungnya. Juga persentuhannya bersama tokoh-tokoh
pemikiran baik dalam maupun luar negeri saat itu.
Penggunaan
bahasa yang ringan, lugas dan mengalir
menjadi daya tarik terhadap buku ini. Penyajian cerita dengan alur maju
mundur, menambah kelebihan buku ini. Peletakan kisah masa kecil Buya Hamka
tidak diletakkan di bab pertama, tetapi sebaliknya, ia diletakkan di
bagian-bagian terahir. Sehingga pembaca akan merasa penasaran dengan kisah
kecil Buya Hamka, kisah keluarganya dan gemblengan ayahnya. Sehingga beliau bisa tumbuh menjadi sosok Ayah yang
hebat.
Konsistensi
penggunaan ejaan bahasa Indonesia yang baik dan benar belum terjaga. Hal ini
terlihat dari penggunaan huruf kapital setelah tanda Tanya dan tanda seru. Ada
yang menggunakan huruf kecil adapula yang menggunakan huruf besar, menjadi
kekurangan buku ini.
Demikian
pula dengan penggunaan kata “Ayah” yang dilekatkan pada Buya Hamka, huruf
pertamanya selalu menggunakan huruf kapital (A) sementara pada bab Sembilan
kata “ayah” (hal 230) tidak menggunakan huruf kapital sebagaimana pada kata
“Ayah” sebelumnya.
Adapula
cerita yang berulang, yang seharusnya tidak perlu lagi diceritakan kembali
secara mendetail.
Buku
ini memang tak lepas dari kekurangan, tetapi tidak sampai menutupi kelebihan
yang tertulis di dalamnya. Sehingga penulis yakin, bahwa setelah membaca buku
ini, para pembaca akan mendapatkan informasi yang lengkap tentang Buya Hamka,
Ayah yang hebat tersebut.
Judul : Ayah... Kisah Buya Hamka
Penulis : Irfan Hamka
Penerbit : Republika
Tahun : 2013
ISBN : 978-602-8997-71-3
Halaman : xxvii+321
AhmadRusaidi, Relawan Sudut Baca Al Syifa, Ereng-Ereng Bantaeng
Posting Komentar