ESAI, PANRITA KITTA’ - Semarak memperingati HUT kemerdekaan
Republik Indonesia tampak di mana-mana. Dengan berbagai macam pernak-pernik dan
kegiatan. Umbul-umbul yang
berwarna-warni dengan berbagai ukuran dipajang di halaman-halaman kantor dan
rumah, lorong-lorong dan pusat-pusat perbelanjaan dan keramaian pun tidak
ketinggalan.
Semua larut dalam satu suasana, suasana
kemerdekaan. Pelbagai jenis pertandingan dan lomba pun digelar, mulai dari
lomba tingkat RT, RW, desa/kelurahan, kecamatan sampai tingkat nasional. Mulai
dari tingat balita sampai jompo pun tidak luput disediakan lomba.
Ada lomba yang sifatnya hiburan,
setengah serius sampai pada lomba dan pertandingan yang sangat serius. Semua
itu adalah bentuk apresiasi dan ekspresi rakyat Indonesia dalam memperingati
kemerdekaan, karena telah lepas dari para kolonialis Belanda dan Jepang.
Kemerdekaan yang diraih dan dinikmati
saat ini, adalah buah dari proses panjang dari para pejuang terdahulu,
mengorbankan harta, jiwa dan raga. kemerdekaan yang dinikmati generasi hari ini
bukanlah hadiah cuma-cuma yang diberikan kum penjajah karena belas kasihannya
kepada negeri kita. Tetapi karena memang diperjuang dengan segenap kemampuan
yang dimiliki.
Dalam dokumentasi-dokumentasi yang
sering kita dengar, baca dan lihat, para pejuang kita mengadakan perlawanan
terhadap kaum penjajah dengan bermodalkan semangat untuk merdeka dan memakai
senjata tradisional( bambu runcing, tombak, keris, golok, badik,dan yang
lainnya) melawan senjata para penjajah yang sudah canggih dan modern.
Kekalahan memang menghiasi perjalanan
panjang perjuangan, tapi di ujungnya kemerdekaan adalah buah yang manis. Akan
tetapi, sependek pengetahuan saya, kemerdekaan yang direbut dari kolonialis,
tidak hanya diperjuangkan dengan curahan darah di ujung tombak bambu yang
runcing, dan keris atau badik yang bertuah. Pun ada juga pejuang bangsa yang
melakukan perlawanan dengan bermodalkan pena atau tulisan. Sebutlah beberapa di
antaranya, HOS Cokroaminoto, Tan Malaka, Kartini, Bung Karno, Bung Hatta, Buya
Hamka, dan lain-lain.
Mereka menulis, tidak sekadar menulis.
Mereka menulis untuk melakukan perlawanan dan pemberontakan. Karena dari
tulisan-tulisan mereka, bangkitlah semangat dan kesadaran kawula untuk melawan.
Bahkan hanya karena tulisan mereka yang tersebar, lalu menyulut pemberontokan.
Akibat dari tulisan-tulisan mereka, ada
yang ditangkap, diterungku dan diasingkan, karena dianggap sebagai biang kerok
yang melawan terhadap penguasa atau kolonialis saat itu. Para pejuang yang
melawan tidak hanya dengan senjata tajam tetapi juga mengandalkan penanya
tersebut, sadar bahwa sebab dan akibat dari penjajajahan yang panjang ini
adalah kebodohan.
Karena hanya kaum priyayi yang berhak
mengenyam dunia pendidikan (bersekolah tinggi). Sementara kaum jelata, hanya
wajib dan berhak untuk menjadi sahaya saja. Lalu kaum priyayi yang sadar dan
tercerahkan inilah yang melakukan pemberontakan dari kungkungan kebodohan dan
adat yang menyesatkan tersebut.
Sependek pengetahuan saya pula, proses
perjuangan yang sangat heroik dengan bermodalkan semangat untuk merdeka dibantu
oleh senjata-senjata tradisional yang saya sebutkan di atas, sudah sering
ditampilkan di pagelaran-pagelaran peringatan kemerdekaan, dalam bentuk teater
atau drama. Dan tiada lengkap rasanya peringatan kemerdekaan itu jika tidak
menampilkannya setiap tahun.
Tetapi menampilkan sisi kepenulisan
(melek huruf/semangat literasi) para pejuang terdahulu, masih sangat kurang
dijumpai, bahkan nyaris tidak tampak. Memang Bung Karno hebat dalam berorasi
tetapi saya masih menganggap bahwa gagasannya tentang Indonesia yang
dituliskannya dalam Pancasila itulah yang terhebat. Karena lomba untuk
menirukan Bung karno dalam berorasi itu sudah sering digelar, tetapi lomba
menulis mengamandemen atau mengganti pancasila belum pernah saya dengar atau
lihat.
Beberapa film heroik tentang perjuangan
melawan Belanda hanya menampilkan sisi kegarangan seorang tokoh menumbangkan
pasukan kompeni, juga yang sering dipertontonkan adalah keromantisan sang hero
kepada istri atau kekasihnya. Tetapi kemalangannya dalam mengenyam pendidikan,
kesulitannya mendapatkan bahan bacaan, atau menulis pikiran-pikirannya dalam
penjara, sepertinya sengaja untuk dilewatkan.
Menceritakan kemelekan aksara (literasi)
para pahlawan di sekolah-sekolah jika tidak dikatakan tidak ada maka itu
dianggap tidak penting, dan jika itu dianggap sesuatu yang tidak penting maka
ia tidak akan dianggap ada. Sejarah yang diajarkan hanya menceritakan
tahun-tahun kejadian, dan korban yang ditimbulkan. Sehingga para peserta didik
hanya akan menghapalkan tahun-tahun dan tokoh-tokoh bersejarah tersebut, tetapi
bagaimana dia melalui hidupnya (khususnya dalam mengenyam pendidikan), apa buah
pemikiran dan tulisan para tokoh tersebut, dalam memperjuangkan kemerdekaan
barangkali minim yang mau mengetahuinya.
Usia kemerdekaan negeri ini memang sudah
terbilang lama, tetapi tidak berbanding lurus dengan kemampuan literasi
rakyatnya. Problem melek aksara tingkat dasar belum berhasil dituntaskan.
Peningkatannya pun sangat lamban. Terbukti dengan beberapa survey yang
menyatakan bahwa angka literasi bangsa Indonesia cukup memprihatinkan.
Memang lembaga-lembaga pendidikan di
negeri ini tumbuh bak jamur di musim hujan, tetapi belum sepenuhnya menjadikan
kegiatan menulis dan membaca sebagai kebutuhan diri dan jiwa yang merdeka.
Padahal bangsa yang maju adalah bangsa yang mencintai literasi.
Tulisan ini telah pernah tayang di sini
Tulisan ini telah pernah tayang di sini
Ahmad Rusaidi, Pegiat Sudut Baca Al-Syifa,
Ereng-ereng – Bantaeng.
Posting Komentar