RESENSI, PANRITA KITTA' - Menulis cerita dengan pesan yang padat, namun tak sampai membuat kening berkerut dibuatnya, adalah salah satu kelihaian Dul Abdul Rahman. Kisah-kisah yang dibabar oleh lelaki dari Bikeru, Sinjai Selatan ini, jauh dari kesan menggurui. Bahkan, tak jarang, pembaca membenarkan apa yang diwartakan dalam kisah gubahannya. Mungkin, salah satu faktor yang mempengaruhinya adalah, karena selain sebagai penulis, Dul pula adalah seorang akademisi.
* * *
Seperti novel-novelnya yang lain, semisal Pohon-Pohon Rindu dan Daun-Daun Rindu, dalam Sabda Laut, Dul tak luput menyajikan humor segar, namun tetap menjadi sebagai sarana transformasi nilai etika. Lelucon yang disajikannya adalah kebiasaan-kebiasaan sederhana yang saban hari dilakukan anak-anak di Sulawesi Selatan. Ornamen ini membuat novel ini terasa hidup dan membumi.
Simaklah saat Samad mengantar Subihawati ke rumah salah seorang gurunya, Pak Slamet Sunoko, usai magrib. Samad memanfaatkan peluang itu untuk meramu aktivitasnya menjadi semacam kencan dadakan. Tentu saja, semua atas dukungan Sapri --putra Daeng Bollo yang awalnya begitu anti pendidikan, dan juga Sulham, sahabatnya yang lain. Sore sebelum kejadian, mereka menyusun rencana dengan matang.
Saat meninggalkan rumah Pak Slamet di kompleks SMP Negeri 15 Makassar, mentari sudah lama sembunyi, gelap merajai angkasa. Rumah kosong di sekitar sekolah yang terkenal angker dan menjadi hunian dua hantu lokal bernama poppo & parakang, terlihat kian suram. Perlahan Samad dan Subihawati berjalan beriringan dengan terap menjaga jarak. Tak lama, dari arah kegelapan, terdengar suara berbunyi, "Po... Po.. Po... Poppo.."
Mendengar suara itu, Subihawati ketakutan, sementara Samad tersenyum gembira, sebab rencananya mulai berjalan. Perlahan, Subihawati mendekat, bahkan saat terdengar bunyi keempat kalinya, Subihawati telah merangkul Samad yang balas merengkuh dirinya dalam pelukan. Rupanya, Samad, Sapri dan Sulham sengaja menakut-nakuti Subihawati agar lengket ke Samad, dan berhasil.
Sayang, keberhasilan Samad berangkulan dengan Subihawati, harus dibayarnya dengan peristiwa kerasukan di kolong rumah kosong depan sekolah. Dalam kondisi tak sadarkan diri, Samad merasa didatangi oleh Poppo, bahkan berteriak-teriak menyuarakan "Poppoooooo." Setelah peristiwa itu, Samad bergegas mentraktir Sulham dengan dua mangkuk coto sebagai bayarannya berpura-pura menjadi poppo tempo hari.
Dalam novel setebal 200an halaman ini, Dul betul-betul menyerap spirit dari laut yang menjadi pondasi karakter generasi pesisir semacam Samad, Sulham, Sapri, dan tentu juga Subihawati. Di laut memang ada badai dan gelombang, tapi di sana juga semangat yang menggelora, dan sabda-sabda laut yang menjadi penuntut dalam mengarungi samudra kehidupan. Lalu Dul, berhasil menulisnya dengan baik.
Melalui novel ini, Dul mengukuhkan konsistensinya pada tema-tema berbasis lokalitas, Burhanuddin Arafah, seorang profesor dalam kesusastraan, Dekan Fakultas Ilmu Budaya Unhas kala novel ini menemui pembaca, berkata begini, "Di novel Sabda Laut ini, Dul Abdul Rahman tetap bertahan pada ciri khas kepenulisannya, penuh dengan nuansa local wisdom." Bukankah ini menjadi jaminan betapa menariknya buku ini?
Judul: Sabda Laut
Penulis: Dul Abdul Rahman
Penerbit: Penerbit Ombak, Yogyakarta
Tahun : 2010
Halaman: vi + 202 hal, 13 x 19 cm
Posting Komentar