Glorifikasi Eka Kurniawan dalam Kepala Itho M dan Saeful


sebuah pembelaan demi keselamatan pikiran

ESAI, PANRITA KITTA' - Setiap peristiwa harus dilihat konteksnya. Tentu saja 'konteks' yang saya maksud meliputi konteks ruang dan konteks waktu sekaligus. Begitulah siasat hermeneutika, ada bersama dengan dunia.

Bila konteks ruang selalu berkaitan erat dengan dimensi kebudayaan, sosiologi politik, hingga motif ideologi maka konteks waktu merupakan dimensi historitas yang melukiskan dialektika ide menjadi kenyataan.

Maka jangan heran, kelompok masyarakat Indonesia yang terlanjur 'bahagia' dalam ekosistem politik orde baru, hingga kini masih terus menyuarakan keunggulan-keunggulan semu pada masa kekuasaan Soeharto. Mereka menganggap kehidupan era reformasi sebagai manifestasi hidup tanpa kepastian.

Dalam analisis konteks, paradigma militan kelompok pemuja orde baru ini terbentuk oleh berbagai formasi diskursus 'konteks ruang' baik itu kebudayaan, politik maupun ideologi.

Pada masa orba, moralitas publik itu harus berhamba pada moralitas penguasa. 'Kebenaran tertinggi' dalam kehidupan bermasyarakat itu merupakan hak prerogatif penguasa. Setiap protes kepada penguasa merupakan dosa negara yang harus segera dibasmi hingga ke akar-akarnya.

Sementara konteks historis yang membentuk keseragaman jiwa pendukung orde baru, sangat ditentukan oleh diversifikasi program-program seremonial, indoktrinasi Pancasila melalui penataran P4, hingga melalui militerisasi corak berpikir masyarakat.

Andai diajakukan pertanyaan hipotetik, mengapa homo orbaicus, demikian setia pada dunia masa lalunya?

Maka jawaban mudahnya, oleb sebab mereka terlanjur dipenjara 'glorifikasi zamannya'.

Apakah maksud glorifikasi zaman itu sendiri? Sebuah sikap hidup yang melupakan konteks ruang dan waktu secara utuh dan holistik.

Homo orbaicus, terlanjur menikmati penjara pikiran dunianya sendiri. Mereka memandang Indonesia, dengan alam pikiran yang mereka ciptakan sendiri. Tiada tempat bagi kelompok yang menentang pemerintah. Bagi mereka, konteks ruang dan waktu itu sepenuhnya dikuasai dan dikendalikan oleh pihaknya.

***

Dalam pengertian glorifikasi di atas, saya menyaksikan sendiri Itho Murtadha (Itho) juga menilai Eka Kurniawan (EK) dalam bingkai glorifikasi. Pada kedua tulisannya, Itho terlanjur bernafsu menjelaskan kedudukan EK, hanya dari kekaguman individual semata. Ia seolah lupa, bahwa konteks 'karya-karya' EK jauh lebih penting daripada sekadar nama besar EK sebagai salah satu novelis Indonesia terkemuka saat ini.

Pada tulisan pertamanya, Itho menunjukan kekaguman pada dua karya EK yaitu kumpulan cerpen Cinta Tak Ada Mati dan novel Cantik Itu Luka. Ia bahkan dengan terus terang mengakui begitu emosional ketika membaca  cerpen yang berjudul Surau.

sesaat emosi kita digulung-gulung. Diaduk-aduk selama beberapa menit—untuk ukuran normal membaca—oleh sebuah peristiwa biasa yang diceritakan kembali oleh Eka.

Pengakuan Itho di atas jelas sebuah bingkai glorifikasi. Ia hanya berhenti pada sihir kata-kata EK. Ia tak memiliki nafsu menggeledah pemihakan EK dalam cerpen itu.

Benarkah 'lupa bacaan salat', sebagaimana dinyatakan EK merupakan jalan buntu hidayah?

Haruskah setiap kebimbangan yang lahir dari beban masa lalu, pada akhirnya dibiarkan kalah oleh selera penulis?

Bukankah, terlalu jauh menyangkal kehadiran Tuhan meski pada hati yang senantiasa mengingkariNya?

Bahkan untuk sepintas, menyandingkan narasi Surau ala EK dengan cerpen AA Navis yang berjudul Robohnya Surau Kami, Itho pun lupa melakukannya. Sekali lagi inilah bukti bila glorifikasi EK dalam pikiran Itho, benar-benar terjadi.

Selanjutnya Itho berkata :
Sepanjang bacaan saya, karya-karya Eka selalu padat dengan kritik sosial. Tak ada cerita yang berdiri tunggal sebagai sebuah cerita. Ia selalu memuatinya dengan kritik atas keadaan sosial. Entah itu keserakahan, kezaliman, kemunafikan, kesewenang-wenangan, dan lain sebagainya. Tetapi selalu satire.

Dalam Cantik itu Luka, misalnya, Eka hendak menguak bagaimana praktek perbudakan seks berkelindan-rapat dengan kolonialisme. Perbudakan seks adalah sisi kelam yang tak terelakkan dari kolonialisasi.

Tetapi sebagaimana khas Eka, ia tak akan mengumpat-ngumpat kolonialisme sebagai sebuah kejahatan satu bangsa terhadap bangsa lain. Atau mengonstruksi sosok Dewi Ayu sebagai wanita korban penjajahan seksual yang kemudian bangkit menenteng senjata melawan kaum penjajah.

Ketiga paragraf pernyataan Itho di atas, paling tidak menunjukkan mandulnya sikap kritis di hadapan kekaguman literatif. Altar pemujuaan aksara terhadap EK, membuat Itho 'fana' dalam letupan-letupan imajinasi EK.

Tentu saja, konsekuensi totalitas cinta Itho terhadap EK membuat tulisan-tulisannya mudah ditebak. Di sana-sini, penuh pujian. Ia seolah bait-bait lagu yang mendendangkan EK penuh harmoni yang syahdu.

Untungnya, pada tulisan kedua yang berjudul Eka dan Pram Mewakili Lingkungan Sosial dan Sejarah yang Berbeda, Itho mulai menyadari kekeliruannya.

Ia mulai bicara tentang konteks, bukan lagi semata soal narasi kekaguman individual pada EK. Meski Itho masih menunjukan pembelaan yang setia pada EK, namun Ia tetap mempertahankan gaya apologi khas analisis sastrawi.

Tetapi sebagaimana beber Pram, bahwa Pram adalah Pram, maka Eka juga adalah Eka. Eka tentu saja tak bisa menjadi Pram. Atau dipaksa menjadi Pram. Seberdarah apapun upaya kita.

Konteks paragraf di bagian akhir tulisan kedua ini, nampaknya menjadi pernyataan antiklimaks seorang Itho. Ia terlalu kompromistis sebagaimana pendukung teori glorifikasi.

Ingat, 'ruh emansipatoris sastra', justru terletak pada kritik sastra yang berhasil membersihkan debu-debu glorifikasi yang melekat pada setiap huruf-huruf sastrawi.

***
Harus diakui, pesona kepenyairan EK sedang bagus-bagusnya. Apalagi setelah EK menolak untuk menerima penghargaan kebudayaan dari negara pada tahun 2019, melalui Kementrrian Pendidikan dan Kebudayaan.

Dalam bahasa penolakannya, yang begitu banyak diapresiasi kalangan seniman dan budayawan, EK justru menunjukan 'ketidakseriusan' pemerintah dalam melindungi kerja-kerja kebudayaan.

Menurut EK, menerima anugerah kebudayaan negara kepada dirinya sama saja merestui peran-peran negara yang terlanjur membiarkan terjadinya pengkhianatan kebudayaan di republik ini.

saya kasih contoh bagaimana buku begitu mudah dirampas dan dirazia, di toko buku kecil dan besar

industri buku sudah lama teriak-teriak soal pembajakan buku, tapi nyaris tiada perkembangan berarti

Sikap dan protes EK, membuktikan bahwa pencemaran dunia politik dalam kehidupan kebangsaan tidak cukup kuat untuk membeli integritas seorang EK.

Bahkan saat EK menginterupsi 'keberpihakan negara' pada pahlawan dunia olahraga dengan memberi hadiah 1,5 M bagi peraih emas Asian Games, sementara pahlawan kebudayaan 'cukup' dihargai sebesar 50 juta, maka EK melihat negara terlalu dijajah glorifikasi nasionalisme semu.

Dari EK kita belajar, harga diri bangsa di dunia olahraga dengan menggelontorkan dana yang besar, malah menjerumuskan peradaban bangsa pada titik nadir kehinaan yang memalukan. Mengapa? Karena kita sibuk mengejar pengakuan internasional, sementara kebudayaan dibiarkan terlantar tanpa kehadiran negara.

Apakah, saya lantas tertarik untuk membaca kembali karya-karya EK dengan sederet glorifikasi kisah hebat EK? Tentu saja, TIDAK!

***

Subjektivitas apresiasi karya sastra yang didedah Saeful, pada akhirnya juga merupakan selera yang individual. Tapi dalam ruang publik, selera individu bisa dihakimi. 

Saat Jokowi mengungkapkan kegemarannya membaca komik Doraemon dan Sinchan, maka dalam konteks ini publik berhak menggugat, apakah Jokowi benar-benar paham jalan pikiran Soekarno, Tan Malaka, hingga Hatta dan Sutan Sjahrir? Mau jadi apa bangsa ini dengan gerakan literasi model Doraemon dan Sinchan?

Demikian pula, penilaian Saeful kepada EK yang menurut saya terlalu berlebihan. Penilaian yang diaduk-aduk glorifikasi, meniscayakan penilaian penuh cacat di sana-sini.

Mari kita cermati pernyataan Saeful ;
Jika Pram ibarat melawan karena ia proletar, dengan segenap pikiran ala proletariat. EK ibarat menjalankan peran sebagai intelektual penggerak perjuangan, menyadarkan kelas melalui pendidikan politik.

Pertanyaan kita,
1. Apakah apresiasi terhadap EK yang dilakukan Saeful merupakan bagian dari pendidikan politik?

2. Apakah menerima sensasionalisme terhadap bahasa vulgar dan telanjang, merupakan inovasi mencerahkan pandangan politik publik Indonesia?

3. Benarkah EK merupakan kelas intektual yang memiliki visi politik pencerahan bagi kesadaran politik manusia Indonesia?

Terhadap ketiga pertanyaan itu, bayang-bayang glorifikasi dalam imajinasi Saeful dan pengagum EK tentu akan menyeret mereka pada banjir bandang perspektif yang tidak sakral.

Mereka tidak bisa lagi menyaksikan kejernihan di balik kerusakan ekosistem kesadaran pada sekelompok penikmat sastra Indonesia 'kelas kelamin'.

Cacat bawaan pikiran Saeful, berangkat dari ontologi ketelanjangan jauh lebih eksotis daripada ontologi kerahasiaan. Bila ontologi ketelanjangan memuja semua keterusterangan hingga terbuka apa adanya, maka ontologi kerahasiaan merupakan desain teka-teki yang hanya terungkap dalam kesunyian.

Derajat ontologi ketelanjangan pun, bertingkat-tingkat. Ada yang levelnya sarkasme, ironisme maupun satirisme.

Pada titik berangkat inilah, penilaian saya pada EK tidak berubah. EK memilih jalan sastra yang berbeda dengan Ayu Utami, Dewi Lestari, Leila S. Chudori dan Laksmi Pamuntjak. Bukankah menciptakan kecanggihan ungkapan soal 'kelamin' menjadi lebih estetik dan etik, justru buku Eka yang pernah saya baca, Seperti Dendam, Rindu Harus Dibayar Tuntas, menampilkan bahasa-bahasa yang mundur dari pencapaian kuartet penulis perempuan di atas. Dan inilah alasan paling utama, saya menyingkirkan EK sebagai penulis layak baca dan apresiasi.

Kalaupun Saeful mengagumi konteks cerita EK dalam novel Cantik Itu Luka, saya pikir itu karena Ia belum akrab dengan konteks cerita Ayu Utami, Dee, Leila, dan Laksmi yang amat mahakaya perspektif. Maka Mintalah Tuan Itho Murtadha memfasilitasi buku-buku karya Srikandi Sastra Indonesia kontemporer itu.

Kalaupun, tidak bertaubat, minimal Adinda Saeful bisa membersihkan debu-debu glorifikasi dalam penilaian terdapat Eka Kurniawan.

Zaid. Pegiat Komunitas Pena Hijau Takalar.

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama