Eka Kurniawan Di Mata Pembaca Awam


sekadar tanggapan

ESAI, PANRITA KITTA' - Polemik perihal Eka Kurniawan (EK) dan karyanya yang dipicu oleh tanggapan dari guru Zaid atas ulasan Itho Murtadha dengan judul Eka Kurniawan, telah memancing perhatian saya sebagai pembaca sastra awam. Ada apa dengan Eka Kurniawan?

Polemik yang lalu menuai respon dari Saiful Ihsan untuk ikut terlibat dalam polemik ini. Mereka lalu saling berbalas tulisan. Dalam perseteruannya ini, mereka menampilkan cara pandang tersendiri dan mempunyai perspektif masing-masing dalam menilai karya-karya seorang EK.

Menurut Itho, karya EK mampu menunjukkan kelasnya sebagai generasi sastra baru asal Indonesia, EK sangat jago mengulik cerita sehingga menjadi sebuah buku yang best seller. Bahkan karya EK tak hanya dinikmati masyarakat Indonesia tapi kini bisa dinikmati oleh masyarakat dunia.

Cantik Itu Luka misalnya, novel ini telah diterbitkan dalam bahasa Jepang dengan judul Bi wa Kizu dan juga dalam bahasa Malaysia dengan judul yang sama.

Namun bagi guru Zaid, karya EK tak perlu dibaca, diburu bahkan dipromosikan dengan intens. Karena baginya, ada yang lebih baik ketimbang karya EK. Seperti buku novel Amba dan Pulang karya Leila S. Chudori.

Sementara Saiful, senada dengan Itho melihat karya EK patut diapresiasi karena ini merupakan talenta. Meski bukan berarti karya EK harus dipuja berlebihan sebagaimana Bin Baz dipuja kaum Wahabi dan Ali Bin Abu Thalib bagi pecinta Ahlul bait.

Bagi saya sebagai pembaca awam, karya-karya EK patutlah kita nikmati saja dulu. Tak usah ada rasa kagum berlebih atau fanatisme. Karena bila kita sudah berada dalam kefanatikan, maka kita akan langsung memberi cap bahwa buku ini baik, atau buku ini tak baik.

Setiap tulisan patut diapresiasi --termasuk karya EK, menulis itu membutuhkan waktu untuk bisa menciptakan karya. Menyusun, merangkai kata menjadi sebuah kalimat itu tak gampang, butuh pikiran, butuh banyak bacaan buku dan butuh pengalaman.

Konon, EK dalam proses menulisnya, durasi waktu yang dibutuhkannya dalam menelurkan sebuah cerita, sekira sepuluh jam. Sisanya lebih banyak melamun, membangun narasi atau cerita di dalam kepalanya. Itupun hanya satu tulisan. Nah bagaimana dengan satu buku? Bagi saya, itu sangat susah.

Karena itu, saya merasa polemik ini hanyalah kepongahan dari Itho, guru Zaid, dan Saiful terhadap interpretasinya kepada karya EK. Semua karya buku itu sama saja, siapa pun penulisnya. Kalau menghasilkan buku, maka itu layak dibaca.

Membaca karya seorang penulis adalah bagian dari penghormatan kita terhadap seorang penulis, karena telah menciptakan karya-karya berupa buku sehingga mampu menambah pengetahuan dan wawasan kita.

Ahmad Abdul Basyir. Branwir yang sesekali membaca novel, cerpen, dan puisi.

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama