ESAI, PANRITA KITTA’ - Dalam perbahasan
perihal kepenulisan, biasanya, pertanyaan yang sering muncul adalah soal yang
sangat teknis, bagaimana cara menulis. Barulah setelah itu, menyusul masalah
tentang tema tulisan, apa yang bisa atau harus ditulis. Disadari atau tidak, pertanyaan tersebut sesungguhnya
melalaikan perbualan dari menilik hal mendasar dalam kepenulisan.
Kasman McTutu. Pembelajar Literasi.
Sebelum jauh mengurai masalah teknis
menulis dan tema tulisan, selayaknya, pertanyaan Jean-Paul Sarte, Apakah
Menulis Itu? yang dijadikannya sebagai tajuk tulisan dalam kumpulan Menulis
Itu Indah: Pengalaman Para Penulis Dunia (2016 : 64) patut kita renungkan
dan jawab bersama. Mengapa demikian? Sebab jawaban
bagi tanya ini akan menetukan tema dan karakter tulisan seseorang.
Dalam buku yang sama, Sartre (2016 : 90) menjawab
sendiri pertanyaannya, menulis itu merupakan suatu usaha; karena para
penulis adalah makhluk yang hidup sebelum kemudian menjadi mayat. Dalam
buku yang sama, Umberto Eco (2016 : 223) mendaku bahwa aktivitas menulis
merupakan kewajiban politisnya. Sementara pada tempat lain, Paul
Jennings[1]
berkata bahwa menulis adalah keperluan pribadi bukan tugas, karena di
dalamnya ada kesenangan dan manfaat untuk kehidupan sehari-hari. Ada nilai yang
tak terukur dalam menulis.
Berkaca pada jawaban Sartre, Eco, dan Jennings,
dapat dikatakan bahwa menulis merupakan aktivitas yang punya beragam defenisi
yang saling melengkapi dan menguatkan. Berikut beberapa pemahaman mengenai
menulis yang bisa jadi bahan renungan bersama. Pertama, menulis
berarti hidup. Saat kegiatan tulis-menulis dijalankan, maka pada saat itu seorang
penulis sedang mengaktualisasi diri. Menulis sedang menghidupkan jiwanya dalam
bentuk karya tulis.
Kedua, menulis berarti
membebaskan. Ketika menulis, seorang
penulis menjelma menjadi ’sang pencipta’. Ia bebas mengekspresikan diri
sepuasnya karena tulian sebagai ranah, benar-benar milik adalah miliknya.
Tulisannya adalah wilayah kekuasaannya, sehingga ia bebas melakukan apa saja di
dalamnya. Ketiga, menulis berarti berbagi. Saat menulis, seorang penulis sedang mencoba untuk berbuat sesuatu
bagi orang lain, beramal. Penulis berbagi melalui tulisan, dengan harapan tulisannya akan bermanfaat bagi orang lain.
Keempat, menulis berarti
berbicara. Menulis sebenarnya perbincangan seorang penulis
dengan orang lain, pembacanya. Saat menulis, imajinasi seorang penulis
sedang bercerita dengan orang lain, maka pada saat itu kata - kata akan
meluncur dengan deras. Kelima, menulis
adalah kesenangan. Saat jemarinya menulis, saat itulah penulis sedang ‘bermain’ dengan rangkaian
kata-kata. Tak perlu khawatir
bahkan bila kosakatanya berantakan, yang penting setiap huruf mengalir begitu saja
sesuai dengan perasaan yang ingin diciptakan.
Bila anda telah menemukan sendiri jawaban anda, maka saatnya kini
untuk beranjak pada soal apa bagaimana cara menulis. Mengenai ini, baiknya longok
sejenak ke Josip Novakovich, penulis fiksi yang mendapatkan berbagai
penghargaan sastra di Amerika, meski dia kelahiran Kroasia. Untuk tanya sedemikian,
ia akan menjawab singkat, “Duduk dan lakukan!”[2]
meski sesungguhnya menulis tak sesederhana itu.
Cara menulis, ditentukan oleh jenis kelamin yang kita pilih:
fiksi atau nonfiksi. Lalu apa selisih kedua jenis tulisan ini? Titik utama
perbedaan antara penulis fiksi dan penulis nonfiksi, terletak pada cara mereka
menceritakan ulang sebuah fakta. jadi sesungguhnya, baik penulis fiksi maupun
nonfiksi, keduanya tetap berpijak pada fakta, tapibagaimana fakta itu
dituturkan ulang, di situ titik percabangannya mengemuka.
Setiap penulis fiksi adalah mereka yang aktivitas menulisnya
diisi dengan mengubah berbagai macam hal, membesar-besarkan dan
mempercantiknya, bahkan memperkenalkan berbagai tokoh, tempat, dan kejadian
yang tidak ada hubungannya dengan fakta sebagai bahan awalnya. Misalnya, fakta
tentang manusia dan fakta tentang kuda, melahirkan mahluk imajiner kuda
berkepala manusia, Centaurus. Atau fakta tentang manusia dan fakta tentang
ular, memunculkan manusia berambut ular, Medusa.
Sedang penulis nonfiksi adalah mereka sungguh-sungguh tertib
dalam menceritakan berbagai kejadian dengan benar-benar berdasarkan ingatan,
tanpa berkeinginan mereka-reka sesuatu, atau bahkan tidak ingin
melebih-lebihkan dan memperindah, atau memelintir perinciannya. Mereka akan
menggambarkan kuda, begini: Kuda adalah binatang menyusui yang dikenal dengan
nama latin Equus Caballus. Hewan berkuku satu ini terlahir dari famili equidae,
ordo perissodactyla, kelas mamalia, dan kingdom animalia.
Biasa, kuda dipiara orang sebagai kendaraan (tunggangan, angkutan) atau
penarik kendaraan, atau untuk balapan.
Alif Danya Munsyi dalam Jadi Penulis? Siapa
Takut! (2012 : 2) telah memetakan genus tulisan mana yang termasuk
fiksi, yang mana termasuk nonfiksi. Tulisan diksi meliputi cerpen, novel,
drama, dan puisi, sedangkan nonfiksi mencakup berita, kritik, esai, serta
kolom. Menurutnya, tak ada paksaan untuk memilih hanya salah satu model tulisan
tertentu.
Penulis yang populer dengan nama Remy Sylado (2012 :
2) ini berkata, Tak ada saran untuk hanya memilih salah satu saja dari genus
ini. Malahan disarankan untuk melakukan semuanya. sebab, nanti dalam
menghubungkan antara kemauan dengan bakat di balik kerja menulis sebagai karya
tulis, kita mesti memandangnya di bingkai bangsa yang ber-Tuhan Maha Esa.
Lalu, apakah dengan mengetahui pembagian jenis kelamin
tulisan ini membuat seseorang menjadi penulis handal? Tentu tidak! Seperti selalu
didengungkan oleh Kuntowijoyo, untuk menjadi penulis hebat, yang
dibutuhkan adalah menuruti enam kata singkat ini: menulis, menulis, menulis,
menulis, menulis, menulis. Apa tak ada trik khusus? Tak ada! Remy Sylado
(2012 : 4) berujar: Dasarnya, kuasai bahasa, miliki kata-kata. Semua
punya licentia poetika[3],
semacam kebebasan untuk mengulik kata – kata dalam karya.
Praktik licentia poetika ini bisa dirasakan pada
pengalaman Ida Azuz menulis buku Malaikat Menulis Dengan Jujur
(2007 : 5), Ida menyebutnya menulis dengan jujur. Menurutnya, menulis dengan
jujur adalah menulis tanpa beban rasa takut. Menulis dengan jujur adalah
menulis secara bergairah. Menulis dengan jujur adalah menulis dengan tulus
menyampaikan kutipan orang lain tanpa menyembunyikan sang sumber tulisan.
Setelah muncul dorongan dan kemauan untuk menulis, sekarang saatnya
akan mencari – cari apa yang mesti ditulis, bukan? Muhidin M. Dahlan
dalam bukunya Inilah Esai. Tangkas Menulis Bersama Para Pesohor (2016 :
32 – 36), menyebut ada lima sumur tempat seorang penulis bisa menimba bahan
esai –yang bila ditilik serius, pun bisa menjadi sumber tulisan karya
nonfiksi lainnya. Kelimanya adalah perpustakaan, subjek manusia, subjek
flora dan fauna, ruang-ruang imajiner, dan internet.
Itu tadi bagi penulis nonfiksi, untuk tulisan fiksi, Josip
Novakovich dalam Berguru Kepada Sastrawan Dunia (2003 : 7 –
26) menyebut setidakya ada empat sumber cerita fiksi. (1) Fiksi dan nonfiksi;
(2) Memadukan fakta dan fiksi; (3) Tradisi lisan; dan (4) Sumber-fiksi yang
lainnnya. Menariknya, untuk poin (4) Sumber-fiksi yang lainnnya, Novakovich
ada tiga sumber yang untuk meraihnya harus dicuri: (a) Curilah dari masa kecil
anda; (b) Curilah dari liang kubur; dan (c) Curilah dari buku.
Untuk penulis mubtadi, Remy Sylado (2012 : 11)
menyederhanakan sumber itu menjadi dua: dari tulisan dan dari omongan.
Dari tulisan, bahwa mula-mula kita membaca, dan dari bacaan itu kita
memperoleh pengerahuan (penge-tahu-an) tertentu, darinya kita terdorong untuk
membuat juga karya tulis. Dari omongan, bahwa kita mendengar
omongan orang, lantas kita mencari jalan untuk mengetahui (menge-tahu-i) kebenarannya,
atau juga ketidakbenarannya, untuk menjadi ilham tulisan kita. Baik yang benar
maupun tidak benar, sama-sama berguna bagi sumber ilham kita tersebut.
Akhirnya, seseorang menulis atau tidak, menulis dengan baik
atau buruk, penuh emosi atau tanpa perasaan, semua kembali pada dorongan,
motivasi, atau stimulus yang merangsang seseorang mengungkapkan apa yang
dipikirkannya ke dalam tulisan. Untuk menerka hal tersebut, ada baiknya kita
mendaras ulang sebuah tanya sederhana dengan jawaban pelik yang dilontarkan
oleh penghulu kaum eksistensialis, Sartre (2016 : 90), Mengapa
seseorang menulis?
[1] Hernowo mengutip kalimat ini dalam tulisannya dengan judul Menulis
Untuk Meningkatkan Kualitas Diri: Sebuah Pengantar Ringan yang menjadi
pengantar atas buku Malaikat Menulis Dengan Jujur yang ditulis oleh Ida
Azuz dan diterbitkan oleh Penerbit PT Lingkar Pena Kreativa pada April 2007.
[2] Helvy Tiana Rosa mengungkap hal ini dalam tulisannya
dengan judul Menulis Tanpa Beban yang menjadi pengantar atas buku Berguru
Kepada Sastrawan Dunia yang ditulis oleh Josip Novakovich dan diterbitkan
oleh Penerbit Kaifa pada April 2003.
[3] licentia
poetika, pada awalnya digunakan untuk menunjukkan kebebasan para penyair
dalam memiuh bahasa dan menyulam kata dalam puisi-puisinya.
Kasman McTutu. Pembelajar Literasi.
Posting Komentar