Menikmati Esai-esai Asrul Sani

RESENSI, PANRITA KITTA' - Pagi ini belum waktunya menyeruput kopi, ini masih bulan puasa. Tapi menikmati karya seorang seniman cum sastrawan legendaris, tidaklah membatalkan puasa. Karena ini bukan kenikmatan jasadi, tetapi ruhani.

Saya ketemu buku ini --Surat-surat Kepercayaan, cet. Pertama 1997-- di rak terdalam Toko Buku Ramedia Palu, saat usai gajian kemarin. Buku ini sudah tua, kertasnya hampir kecokelatan. Kalau dilihat dari sisi bagian atasnya, ada banyak bercak-bercak cokelat, pertanda begitu lama ia didekap oleh rak buku yang mulai berbubuk --dimakan rayap.

Buku ini sudah kehilangan bungkusan plastiknya, tetapi mengapa tetap saya beli? Pertama, karena murah, kena diskon. Buku setebal 707 halaman ini hanya dihargai Rp. 60.000, setelah didiskon 50%. Memang harga-harga buku di bumi Tadulako rata-rata mahal.

Kedua, buku ini adalah kumpulan Esai. Saya mulai jatuh cinta pada esai ketika mulai membaca tulisan-tulisan Cak Nun (Emha Ainun Nadjib). Disusul tulisan-tulisan Goenawan Mohammad, Dahlan Iskan, ditambah dengan membaca "Inilah Esai" karya Gus Muh (Muhidin M. Dahlan).

Ketiga, penulisnya Asrul Sani, salah seorang yang esainya dikutip Gus Muh. Asrul Sani adalah seniman, salah satu pelopor angkatan 45, orang kebanyakan hanya mengenal Chairil Anwar, tetapi tak mengenal Asrul Sani. Padahal, ia bersama Chairil Anwar dan Rivai Apin menerbitkan kumpulan 'Tiga Menguak Takdir (1950)'.

"Sebenarnya sumbangan Asrul dalam dunia sastra Indonesia lebih banyak berbentuk esai daripada berbentuk sajak dan cerita pendek ... Tetapi sumbangannya dalam dunia esai itu mungkin tidak diketahui banyak orang ... dia banyak menggunakan nama samaran." Demikianlah menurut pengakuan Ajip Rosidi sebagai penyunting dalam memberikan pengantar buku ini.

Pada tahun 1950-an, selama dasawarsa itu Asrul memang lagi subur-suburnya menulis esai. Sebagian besarnya ia menulis tentang teater dan perfilman. Ketangkasan dan keuletannya dalam menuliskan esai-esainya begitu terasa kalau kita membacanya dengan khidmat. Menjadi mafhumlah kita bahwa orang ini adalah seniman sejati. Ia bisa mencium bau ketidakberesan pada sajak-sajak belakangan, melalui salah satu esainya yang menuturkan kegusaran Sutan Takdir Ali Sjahbana di dalam kediamannya yang dirancang untuk dunia kesendirian.

Saya bersyukur, buku ini belum keburu disambar oleh orang lain, hingga saya dapat lebih mengenali salah seorang seniman yang hampir tersembunyi, melalui karya monumental ini.

Saeful Ihsan. Ketua PW Pemuda Muslimin Indonesia Prov. Sulawesi Tengah.

Posting Komentar

Komentar Anda (0)

Lebih baru Lebih lama