ESAI, PANRITA KITTA’ - [Gerakan Mahasiswa, Romantisme Masa Lalu]
Apa
yang tersisa dari gerakan mahasiswa? Tak lebih dari cerita kejayaan masa lalu.
Elite berpendidikan modern di Indonesia ini, sebagaimana kaum sejenisnya di
berbagai belahan dunia, pernah mengukir sejarah kebesaran dan kejayaan dalam
peranserta dan tanggungjawab sosial. Mereka, para ‘bangsawan pikiran’ yang
mendaku diri sebagai ‘kaoem moeda’, ‘kaoem terpeladjar’, ‘pemoeda-peladjar’,
atau jong (bahasa Belanda) berhasil mengantarkan bangsa ini menuju kemerdekaan.
Bahkan
beberapa fase krusial dalam kehidupan berbangsa kita, kaum ‘tjendekiawan’ ini
selalu hadir secara organik untuk turutserta dalam meluruskan arah bangsa.
Gerakan mahasiswa menumbangkan orde lama, terjadinya peristiwa Malari,
perlawanan terhadap kebijakan NKK/BKK, juga diserukannya reformasi total,
adalah bukti nyata bahwa kaum muda terpelajar bangsa ini tak pernah melupakan
panggilan eksistensialnya.
Namun
hari ini, gerakan mahasiswa hanya mampu menutur ulang dengan begitu dramatis
heroisme para pendahulunya. Keberhasilan gerakan mahasiswa menjadi inisiator,
bahkan pemimpin perubahan soial pada masanya, dijadikan sebagai cerita tanpa
daya motivasi, bahkan hanya mampu meraih cibiran dari sebagian besar massa
mahasiswa dan massa rakyat. Padahal, tanggungjawab dan panggilan eksistensial
gerakan mahasiswa tak pernah hilang dari panggung sejarah.
Proses
demokratisasi kehidupan berbangsa pasca reformasi tahun 1998, belum menemukan
bentuk terbaiknnya sebagaimana yang diharapkan. Faktanya, kita ssudah
mengorbankan banyak hal, dan kita belum menghasilkan apa-apa. “Trilyunan uang
terkuras, berbilang institusi tiruan dicangkokkan serta pelbagai prosedur baru
digulirkan tak membuat rakyat kian berdaya secara politik.” Demikian ungkap
Yudi Latief (2014).
Bila
mengacu ke analisis Ricklefs, kondisi kita hari ini belum jauh bergerak dari
kondisi pada tahun 1950-an. Demokratisasi kita melempem dan terkesan jalan di
tempat tersebab landasannya kurang kokoh. Ricklefs menulis, ”Di sebuah negara
yang masih ditandai oleh tingginya tingkat buta huruf, rendahnya pendidikan,
buruknya kondisi ekonomi, lebarnya kesenjangan sosial, dan mentalitas
otoritarian, wilayah politik masih merupakan hak istimewa milik sekelompok
kecil elite politisi.”
[Demokrasi dan Literasi, Seiring dan (Harus)
Sejalan]
Sebagai
sistem yang berbasis “demos” (rakyat jelata), maka demokrasi tak boleh
meninggalkan nilai dasar kemanusiaan: empati dan komunikasi –yang berujung pada
partisipasi. Demokrasi hanya bisa tumbuh dengan subur bila demos memiliki
kemampuan untuk turut merasakan apa yang dialami oleh orang lain. Pun
membutuhkan kerelaan untuk turutserta dalam mengatasi berbagai persoalan yang
dialami bersama.
Reformasi
politik yang mengimpikan demokrasi yang sehat, mengandaikan reformasi budaya
pula. Sebab, karakter politik demokratis hanya bisa terbangun pada masyarakat
yang dalam bangunan budayanya memuat anasir-anasir demokratis berupa kemampuan
berempati dan kehendak berpartisipasi. Bagi Lerner (1958), hal ini hanya bisa
bertumbuh dengan subur bila didorong oleh kekuatan literasi.
Tahukah,
mengapa revolusi sosial politik yang berkarakter demokratik pada 1848 tidak
meledak di Inggris, melainkan Perancis? Bukankah Inggris merupakan titik tolak
revolusi industri? Menurut Rude (1970), itu semua tak lain karena Perancis
–atau Paris secara khusus, menjadi tempat yang paling menikmati buah
ditemukannya mesin cetak. Kota ini dihuni oleh masyarakat dengan indeks literasi
tertinggi di Eropa kala itu.
Yudi
Latief (2014) menulis, “dalam negeri dengan tradisi literasi yang kuatlah
demokrasi bisa tumbuh dengan kuat.” Tengoklah peradaban Yunani dan Romawi yang
kesarannya masih dikenang hingga hari ini, semua itu, menurut Havelock (1982)
karena keduanyalah yang pertama di muka bumi yang berdiri di atas aktivitas
baca-tulis masyarakat; pertama kali diperlengkapi dengan sarana-sarana
berekspresi yang memadai dalam dunia tulis; pertama kali mampu menempatkan
dunia tulis dalam sirkulasi umum.
Kenyataan
ini menunjukkan bahwa semakin tinggi tingkat literasi sebuah masyarakat, maka
akan semakin empatik dan partisipatif kehidupan sosial kulturalnya. Tentu hal
ini akan berimplikasi pada kian sehatnya kehidupan demokrasi. Maka bila gerakan
mahasiswa masih menyadari tujuannya untuk menyehatkan kehidupan demokrasi kita,
gerakan literasi menjadi layak dipertimbangkan sebagai alternatif model gerakan
mahasiswa ke depan.
[Gerakan Literasi, Tak Semata Baca-Tulis]
Literasi,
sebagaimana dikutip dari kamus online Merriam-Webster, berasal dari kata
literature (bahasa Latin) dan letter (bahasa Inggris). Kata ini digunakan untuk
mewakili kualitas atau kemampuan melek huruf/aksara yang di dalamnya meliputi
kemampuan membaca dan menulis. Makna literasi juga mencakup melek visual dalam
arti kemampuan untuk mengenali dan memahami ide-ide yang disampaikan secara
visual (adegan, video, gambar).
Dalam
perkembangannya, Education Development Centre (EDC) mendaku bahwa literasi
lebih dari sekedar kemampuan baca tulis, literasi juga mencakup kemampuan
individu untuk menggunakan segenap potensi dan skill yang dimiliki dalam
hidupnya. Pengertian ini menjangkau tidak hanya kemampuan membaca dan menulis
kata (word), melainkan sampai pada tahap membaca dan menulis dunia (world).
Konsep
membaca dan menulis kata sekaligus membaca dan menulis dunia, sesungguhnya
bukanlah hal baru dalam dunia pergerakan sosial. Sebelumnya kita telah mengenal
Paulo Freire sebagai tokoh utama pendidikan kritis. Nah, sesungguhnya, konsep
ini juga merupakan bagian –bahkan merupakan kunci– dari proses pendidikan
kritis. Bagi Freire (1987), bahkan sebelum massa rakyat diajari membaca dan
menulis kata, mereka selayaknya sudah dituntun untuk membaca dan menulis
dunianya.
Membaca
dalam konteks ini tidak hanya memahami makna teks yang tertera, melampaui itu,
membaca dalam perspektif kritis adalah menemukan relasi antara teks dengan
konteksnya, serta relasi antara teks dengan konteks pembaca. Cara membaca
sedemikian, dalam perspektif Freirean, tak hanya membangun kesadaran
ada-dalam-dunia, melainkan sampai pada bangunan kesadaran ada-bersama-dunia.
Menulis
pun, tak bisa dipisahkan dari kegiatan membaca kritis. Sebagai produk dari
membaca kritis, menulis adalah proses mencipta teks. Dalam konteks ini, seorang
penulis memeram teks yang dibacanya, lalu mencoba menemukan relasi teks
tersebut dengan diri dan dunianya, setelah itu dia baru menulis ulang dengan
makna baru. Menulis menjadi sebentuk proses penciptaan teks, ikhtiar
mengkonstruksi, mereproduksi dan membangun intertekstualitas.
Maka
literasi sebagai sebuah gerakan dipahami tidak hanya sebagai aktivitas membaca
dan menulis, melainkan sampai pada tahap menafsir dan merefleksi. Membaca dan
menulis secara kritis akan melahirkan pemahaman dan kesadaran yang menjangkau
sampai ke balik tes, mampu menemukan keterkaitan antara diri dengan dunia:
budaya; tokoh kunci; fasilitas sosial; alam dan lingkungan; serta kearifan
lokal yang melingkupinya.
[Gerakan Literasi, Riwayatmu Nanti]
Tak
bisa dimungkiri, tulang punggung gerakan literasi adalah proses pendidikan,
terutama pendidikan formal. Membuat masyarakat menjadi melek aksara –dan juga
melek dunia– adalah tanggungjawab dunia pendidikan. Namun justru di situlah
tantangan terbesar gerakan literasi, sebab dunia pendidikan kita hari ini,
kontraproduktif dengan semangat literatif. Peserta didik terjebak pada
kemampuan baca-tulis yang alpa makna.
Yudi
Latief (2014) menamai kondisi dunia pendidikan sedemikian itu sebagai
‘vokasionalisme baru’ (new vocationalism), “Suatu konsepsi utilitarian dari
lembaga-lembaga pendidikan yang menekankan keterampilan teknis. Dalam arus ini,
pengajaran bahasa mengabaikan dimensi kesasteraan, seraya memberi perhatian
yang berlebihan pada pengajaran tata-bahasa dalam disiplin keilmuan dan
kejuruan yang spesifik.”
Kondisi
ini menjebak peserta didik pada budaya kedangkalan dan terobsesi berlebihan
terhadap interes-interes material dan praktis. Kondisi ini disebut ‘the cult of
philistinism’ oleh Frank Furedi (2006). Maka paling banter, kesadaran yang
terbangun hanya sebatas kesadaran mitos atau kesadaran naif. Jelasnya dapat
dilihat pada pemetaan Jurgen Haberman (2003):
Dalam
kesadaran literasi dangkal seperti ini, maka membaca sastra dan menggalakkan
diskursus intelektual adalah sebentuk kemewahan dan elitisme. Wawasan akan
kemanusiaan yang adiluhung menjadi sesuatu yang asing dan marjinal, semua
tergusur oleh kedangkalan.
Masalah
lain setelah ‘vokasionalisme baru’ adalah serbuan informasi multimedia dan
jejaring media sosial. Di saat kesadaran literatif masyarakat berada di titik
nadir, serbuan tradisi lisan dan visual tak tepermanai kencangnya, maka
masyarakat kian terbenam pada kesadaran naif, bahkan mitos. Padahal kelisanan
adalah bentuk lain dari elitisme informasi yang satu arah. Masyarakat hanya
menjadi konsumen informasi dan tak diberi ruang untuk menafsir dan merefleksi.
Maka
keberanian menjadikan gerakan literasi sebagai moda gerakan mahasiswa
kontemporer adalah pilihan pelik. Saking sukarnya, tak salah kiranya bila
kerja-kerja literasi masyarakat sipil adalah sebentuk tugas kenabian. Tapi
bukankah demikianlah kodrat gerakan mahasiswa? Menjadi nabi bagi zamannya.
Tahniah!
*
Disampaikan pada Training Literasi HMJ PPKn FEIS UNM, 30 Oktober 2016
Posting Komentar